Kupang (ANTARA News) - Jangan dulu bersorak dan bersukacita dalam riang pesta demokrasi bernama pilkada? Ternyata, elektabilitas kandidat tidak serta merta menjamin menang pilkada. Ada tiga penyebabnya.

"Strategi pemenangan dalam Pemilihan Kepala Daerah, tidak cukup mengandalkan data elektabilitas dan popularitas kandidat melalui survei ataua apapun bentuknya, karena politik Pemilu seperti Pilkada langsung telah banyak membuktikan hal itu," kata pengamat politik Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr Marianus Kleden, di Kupang, Jumat.

Ia mengatakan tidak ada jaminan bagi calon Kepala Daerah yang mengandalkan elektabilitas dan popularitas untuk memenangi Pemilu dalam tingkatan apapun.

Ia mengatakan selama ini alat ukur survei menjadi dasar pertimbangan bagi calon, terutama calon kepala daerah bahkan calon presiden sekalipun.

Baca juga: (Survei: elektabilitas Ahok terus meningkat)

Alat ukur survei mengabaikan beberapa aspek penting yang menjadi variabel pendukung keberhasilan dalam pesta demokrasi tertentu. Ini alasan pertama.

Misalnya kata Dosen Fisipol bidang Filsafat Politik Unwira Kupang itu adalah lingkungan sosial yang termanifestasi dalam rekam jejak yang terkadang dilupakan seseorang ketika dalam kesehariannya melakukan interaksi verbal maupun non verbal.

Sinyal Sosial katanya sering menemukan bahwa data mengenai komunikasi sosial terhadap kandidat yang akan maju dan bertarung dalam panggung politik dengan nama dan label apapun juga perlu dipertimbangkan.

"Ketika kandidat sekadar tahu mereka lebih populer dan tingkat keterpilihannya lebih tinggi, informasi ini belum bisa langsung dimanfaatkan untuk menyusun strategi pemenangan," katanya.

Baca juga: (Elektabilitas Ridwan Kamil paling tinggi menurut survei ini)

Alumnus Filsafat Ledalero Flores itu menyebutkan dalam survei yang dilakukan terhadap seorang hanya dilakukan dalam bentuk sampling dengan margin error yang terukur.

Artinya survei sebagai alat ukur terhadap elektabilitas dan tingkat popularitas seseorang memang harus diakui sebagai karaya profesionalitas dan terlembaga, tetapi secara person kandidat belum tentu populer benar dalam konteks politik pencitraan.

"Umumnya seorang kandidat lebih diketahui publik melalui poster, baliho dan alat iklan kampanye lainnya," katanya.

Namun, dampak paling besar justru berasal dari opini masyarakat yang dilakukan oleh keluarga, tetangga sekitar tempat tinggal atau teman kantor. Ini alasan kedua.

Penggalangan opini ini bahkan bisa lebih kuat dampaknya daripada alat peraga. Dengan demikian, diperlukan komunikasi yang baik dari seorang kandidat di lingkungan sosialnya..

"Dengan diketahuinya basis data tersebut, kandidat kepala daerah akan lebih mudah menyusun strategi pemenangan tanpa mengeluarkan biaya politik yang besar," katanya.

Misalnya, lanjut Marianus dialog sosial dan komunikasi langsung kepada masyarakat, dapat dituju pada basis masyarakat yang mengetahui informasi mengenai kandidat tersebut.

Alasan ketiga, basis data membuat sistem pemenangan menjadi tepat sasaran dan efisien.

Baca juga: (Elektabilitas makin tinggi, Anies anggap pelaporan ke KPK itu wajar)

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017