Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPD dari Provinsi Lampung Anang Prihantoro mengatakan masuknya unsur partai politik di DPD sangat riskan bertentangan dengan etika meskipun belum ada aturan yang melarang seorang senator dari unsur parpol.
"Anggota DPD digaji dari uang rakyat untuk mengurus daerah, kalau tiba-tiba waktunya lebih banyak mengurus partai padahal uang yang diterimanya itu untuk mengurus rakyat sehingga di sisi itu menjadi tidak etis," kata Anang dalam diskusi publik di Ruang GBHN Gedung Nusantara V, Jakarta, Kamis.
Dia mencontohkan kalau anggota DPD menjadi kader parpol maka ketika reses bukan mengurus rakyat namun waktunya digunakan untuk mengurus partai.
Anang menilai harus ada aturan pembatasan di UU Pemilu bahwa anggota DPD seharusnya bukan pengurus parpol apalagi pimpinan.
"Karena sekarang tidak ada aturanya, lalu orang melakukan itu," ujarnya.
Dalam diskusi itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti menilai idealnya DPD harus diisi oleh tokoh-tokoh daerah, bisa tokoh adat, atau tokoh masyarakat.
Hal itu menurut dia DPD dibentuk untuk mewakili daerah dari unsur perseorang sehingga harus dimaknai diisi tokoh daerah atau tokoh-tokoh golongan bukan dari parpol.
"Meskipun yang dimaksud anggota DPD berasal dari perseorangan tidak dijelaskan secara utuh. Namun, hakikatnya yang dimaksud perseorangan adalah tokoh daerah, atau tokoh-tokoh golongan bukan dari parpol," katanya.
Menurut dia apabila DPD diisi oleh kader-kader parpol maka menjadi tidak ada bedanya dengan DPR dan DPD dari unsur perseorangan dibutuhkan agar bisa bekerja secara mandiri dalam memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing.
Valina menilai apa yang diperjuangkan DPD murni untuk kepentingan daerah, terutama mengenai Sumber Daya Alam (SDA), pemekaran dan ekonomi.
"Itu semua tugas anggota DPD yang bekerja secara mandiri tidak dipengaruhi oleh kepentingan lain, karena DPD sangat strategis," ujarnya.
Dia mengakui bahwa kewenangan DPD tidak sebesar yang dimiliki DPR namun apabila UU diatur secara maksimal maka akan menjadi lebih baik.
Terlebih menurut dia dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014, yang mengatur wewenangan DPD namun disesalkan putusan MK ini tidak dilanjuti dan belum menjadi prolegnas dalam revisi UU MD3.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017