Apabila ada keputusan baik pada BUMN maupun anak perusahaan BUMN yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk penjualan, saya menegaskan dipastikan DPR akan terlibat."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR-RI meminta Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan di kemudian hari.
"Kita ingin revisi total PP 72 2016, agar Presiden Joko Widodo tidak salah langkah, dan tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari," kata anggota Komisi VI Darmadi Durianto, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis.
Menurut Darmadi, PP 72 banyak yang harus direvisi terutama pasal 2A yang berbunyi, "Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN.
"Kita tidak ingin PP 72 tersebut kemudian bertentangan dengan konstitusi. Presiden harus memahami PP72 agar tidak salah langkah ke depan," kata Darmadi.
"Ada kesan bahwa PP 72 itu dibuat untuk memuluskan perusahaan dalam mendapatkan modal tambahan, meningkatkan ekuitas yang kemudian menaikkan leverage.
Dalam PP 72 itu terindikasi bahwa aset BUMN bukan bagian kekayan negara sehingga tidak perlu mekanisme APBN.
Dengan tidak adanya mekanisme APBN, DPR mengkhawatirkan negara bisa melepaskan kepemilikan saham perusahaan tanpa persetujuan DPR.
Untuk itu politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini mengatakan, dalam merevisi PP 72, Komisi VI harus kembali duduk bersama dan diskusi dengan Kementerian BUMN, selanjutnya dibawa ke Presiden untuk direvisi.
"Karena saat PP 72 diputuskan, hampir semua fraksi di Komisi VI menolak. Namun tetap terbit. Ini mengindikasikan ada kekuatan politik yang besar," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa PP 72 tidak menghilangkan hak pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa tindakan perubahan yang menyangkut kepemilikan BUMN akan tetap dilakukan melalui persetujuan DPR.
"Apabila ada keputusan baik pada BUMN maupun anak perusahaan BUMN yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk penjualan, saya menegaskan dipastikan DPR akan terlibat," katanya.
Ia menjelaskan, Komisi VI DPR masih memiliki kewenangan besar dan berpengaruh terhadap kontrol BUMN dan anak perusahaan BUMN.
Terkait perpindahan atau penyitaan modal dalam pembentukan holdingisasi, ia menegaskan proses tersebut dilakukan dengan koordinasti antarkementerian dan lembaga untuk mengantisipasi implikasi finansial.
"Apa pun yang dilakukan BUMN adalah masalah perseroan, namun begitu menyentuh masalah kepemilikan, masuk rezim keuangan negara secara penuh. Walaupun melakukan holdingisasi, peran negara sama sekali tidak terdelusi," tutur Sri.
Ia menambahkan BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan, namun tetap dicantumkan dalam neraca negara.
Pemerintah pun tetap memiliki kontrol terhadap anak perusahaan eks-BUMN melalui saham dwiwarna (kepemilikan satu saham) dan BUMN induk wajib memiliki mayoritas saham lebih dari 50 persen.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017