Canberra (ANTARA News) - Mantan Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, di Pengadilan Glebe Coroners, Sydney, Selasa, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat adanya dokumen apa pun yang menunjukkan tentara Indonesia memerintahkan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia di Balibo (Balibo Five), Timor Timur, pada 1975.Whitlam memenuhi panggilan pengadilan untuk memberikan bukti terkait dengan tewasnya Brian Peters, salah satu dari lima wartawan Australia yang meninggal dalam peliputan di Timor Timur tahun 1975, demikian laporan ABC yang dipantau ANTARA dari Canberra, Selasa.Menurut mantan politisi yang ketika menjabat perdana menteri Australia itu, satu bulan sebelum insiden itu terjadi, dia telah mengingatkan kepada salah seorang dari lima wartawan tersebut bahwa pemerintah tidak punya cara untuk melindungi mereka saat mereka bepergian ke Timor Timur.Wartawan itu tetap saja pergi kendati ia telah menasihatinya, kata Whitlam dalam kesaksiannya di pengadilan Sydney itu. Ia mengatakan, ia pertama kali mendengar kabar kematian kelima wartawan itu lima hari setelah kejadian ketika dia diberitahu tentang "sebuah pesan militer Indonesia yang disadap" yang menyebutkan bahwa ada empat tubuh warga kulit putih di Balibo. Whitlam mengatakan, dia tidak melihat adanya dokumen atau bahan apa pun yang menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia sedang merencanakan pembunuhan para wartawan itu dan tidak pula ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa para wartawan itu sengaja dijadikan target eksekusi. Sejak insiden itu terjadi 32 tahun lalu ketika aparat keamanan dan sukarelawan Indonesia masuk ke wilayah Timor Timur dalam proses integrasi wilayah itu ke dalam NKRI, masalah kematian lima wartawan Australia di Balibo itu tetap diungkit. Bahkan, nama mantan Menteri Penerangan semasa pemerintahan BJ Habibie, Yunus Yosfiah, terus terseret ke dalam pusaran masalah ini padahal ia telah membantah semua tuduhan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam pembunuhan lima wartawan Australia yang sedang bertugas di Balibo itu. Seperti dikutip Harian Kompas edisi 23 Februari 2001, Yunus Yosfiah mengatakan, bahwa semua kesaksian dalam laporan tim PBB mengenai masalah tewasnya lima wartawan Australia itu adalah "bohong belaka". "Semua kesaksian itu bohong. Saya tidak pernah berjumpa dengan wartawan-wartawan itu secara langsung, apalagi membunuh mereka," kata Letjen (Purn) Yunus Yosfiah yang ketika peristiwa itu terjadi masih berpangkat kapten. Menurut dia, pertikaian di antara partai politik saat itu, yang mengakibatkan saling bantai di antara rakyat sipil. Sebenarnya apa yang disebut "Balibo Five"-sebutan bagi kasus terbunuhnya lima wartawan- sudah selesai pada tahun 1996. Waktu itu, pihak otoritas di Australia menganggap lima wartawan itu tertembak dalam pertempuran.Tetapi, pada tahun 1998, muncul kesaksian baru yang mendorong Pemerintah Australia untuk menginvestigasi ulang. "Hasilnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan laporan pertama itu," katanya seperti dikutip Kompas enam tahun lalu. Penelurusan ANTARA juga mendapati adanya penegasan Duta Besar Australia untuk Indonesia tahun 1975, Richard Woolcott, bahwa pihaknya pun tidak mengetahui bahwa ada wartawan Australia atau warganegara Australia lainnya di Balibo pada waktu itu. Timor Timur sempat berintegrasi ke dalam NKRI atas permintaan rakyat Timor Timur melalui partai-partai UDT, APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA dalam suatu deklarasi Integrasi di Balibo pada 30 November 1975. Sejak itu, Indonesia menganggap Timor Timur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan Indonesia. Rakyat Indonesia melalui DPR menerima petisi integrasi rakyat Timor Timur tersebut pada tanggal 17 Juli 1976. Timor Timur berdasarkan UU No. 7 Tahun 1976 ditetapkan sebagai propinsi ke-27. Namun, PBB sejak awal tidak mengakui proses integrasi Timor Timur ke dalam NKRI itu dan tetap menganggap Portugal, penjajah Timor Timur selama lebih dari 400 tahun, sebagai administratur teritori yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut. Setahun setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi yang akut dan berujung pada penumbangan rezim Orde Baru oleh rakyat yang dimotori mahasiswa, Indonesia dan Portugal di bawah payung PBB sepakat untuk menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. PBB mengklaim bahwa sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia dalam jajak pendapat yang diselenggarakan pada 30 Agustus 1999 itu. Teritori ini resmi berpisah dari NKRI pada 19 Oktober 1999 setelah MPR-RI mengeluarkan Tap MPR No.VI/MPR/1999.(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007