Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai keberadaan taksi dalam jaringan, atau online, selama ini baru menjawab prinsip aksesbilitas transportasi karena konsumen lebih mudah mendapatkannya daripada taksi konvensional.
"Sedangkan aspek yang lain, taksi online belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan pada konsumen yang sebenarnya. Misalnya, belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi melalui siaran pers, Kamis.
Tarif yang diberlakukan taksi online tidak selalu murah, bahkan lebih mahal dari taksi konvensional saat jam sibuk dan kondisi hujan.
Bila ditinjau dari aspek pemberlakuan tarif batas atas dan bawah, taksi konvensional sudah menerapkannya.
"Justru yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran," kata dia.
Baca juga: (YLKI minta pembatalan peraturan yang tidak melindungi konsumen)
Sementara itu, dari segi jaminan perlindungan terhadap konsumen, YLKI menilai taksi online belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumen, misalnya membagikan data konsumen ke mitra bisnis untuk obyek promosi.
“Kemenhub dalam revisi Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif,” kata Tulus.
“Bahwa keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang, tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi.”
YLKI juga mendesak operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanan, misalnya kemudahan akses seperti yang diberikan taksi online.
“Jika perlu, Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional, harus dibebaskan dari unsur inefisiensi. Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional.”
YLKI menilai revisi PM 32/2016 sudah terlalu permisif dan kompromistis, salah satunya izin mobil LCGC sebagai taksi meski, menurut YLKI, tidak layak dijadikan angkutan umum jika dinilai dari sisi keamanan.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017