Jakarta (ANTARA News) - Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Amran Hi Mustary dituntut sembilan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
"Menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Amran Hi Mustary terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama sembilan tahun ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Subari Kurniawan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tuntuan itu disampaikan karena Amran terbukti menerima Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar dan 202.816 dolar Singapura terkait proyek-proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Terdakwa dituntut berdasarkan dua dakwaan yaitu pasal 12 huruf a dan pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mengakui seluruh perbuatannya dan terdakwa tidak mengembalikan seluruh kerugian akibat kejahatannya," tambah Subari
Dalam dakwaan pertama, Amran bersama-sama dengan empat anggota Komisi V DPR yaitu Damayanti Wisnu Putranti (fraksi PDI-Perjuangan), Budi Supriyanto (fraksi Partai Golkar), Andi Taufan Tiro (fraksi PAN), dan Musa Zainuddin (fraksi PKB) serta dua teman Damayanti, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini menerima uang Rp13,855 miliar dan 1.143.846 dolar Singapura dari lima orang pengusaha.
Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Amran bersama-sama dengan Damayanti, Budi, Andi Taufan dan Musa mengupayakan usulan program aspirasi anggota Komisi V DPR agar dialokasikan untuk pembangunan wilayah Maluku dan Maluku Utara dan nanti proyek-proyek tersebut dapat dikerjakan para pengusaha.
Para pengusaha tersebut adalah Dirut PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng, Direktur PT Shareleen Jaya Hong Arta John Alfred, Komisaris PT Papua Putra Mandiri Henock Setiawan dan DIrektur CV Putra Mandiri Charles Fransz.
Penerimaan uang Damayanti, Budi, Julia dan Dessy terkait dengan pekerjaan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu senilai Rp41 miliar milik Damayanti dan rekonstruksi jalan Werinama-Laimu milik Budi Supriyanto senilai Rp50 miliar.
Abdul Khoir pun pada 25 November 2015 memberikan 328 ribu dolar Singapura yang merupakan bagian fee sebesar 8 persen kepada Damayanti melalui Dessy dan Uwi. Selanjutnya Abdul Khoir masih memberikan 404 ribu dolar Singapura pada 7 Januari 2016 sebagai fee Budi Sufpriyanto. Namun fee tersebut masih dibagi-bagi untuk Uwi dan Dessy yang masing-masing mendapat 74.500 dolar Singapura.
Selanjutnya untuk program aspirasi milik Andi Taufan Tiro sebesar Rp170 miliar untuk pembangunan dan rekonstruksi jalan Wayabula-sofi, Rp100 juta dikerjakan oleh Abdul Khoir.
Abdul Khoir masih memberikan fee 7 persen kepada Andi Taufan Tiro sebesar 206.718 dolar Singapura (Rp2 miliar) pada 10 November 2015 dan Rp500 juta pada 1 Desember 2016, Rp2 miliar pada 10 November 2015, Rp200 juta pada 12 November 2015 dan 205.128 dolar Singapura pada 19 November 2016.
Kemudian untuk program aspirasi Musa Zainuddin adalah proyek pembangunan jalan Piru-Waisala senilai Rp50,44 miliar (dikerjakan Abdul Khoir), jalan Teniwel-Saleman Rp54,32 miliar (dikerjakan Aseng). Nilai fee disepakati mencapai 8 persen dari nilai proyek dengan bagian Abdul Khoir adalah Rp3,52 miliar dan Aseng sebesar Rp4,48 miliar sehingga totalnya Rp8 miliar.
Amran masih menerima Rp455 juta dari Abdul Khoir untuk diberikan kepada anggota Komisi V DPR yang melakukan kunjungan kerja ke Maluku antara lain diikuti Ketua Komisi V Fary Djemi Francis, Wakil Ketua Komisi V Michael Watimenna, Yudi Widiana Adia dan anggota Komisi V Damayanti serta Mohammad Toha. Tujuan pemberian uang adalah anggota Komisi V itu menyalurkan program aspirasinya untuk rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara.
Penerimaan khusus untuk Amran adalah sebesar Rp2,6 miliar yaitu sebagai fee dari rekanan kepada anggota Komisi V DPR sebagai kebijakan "satu pintu" artinya harus melalui atau sepengetahuan Amran sehingga Abdul Khoir, Aseng, Henock, Hong Arta dan Charles mengumpulkan seluruhnya Rp2,6 miliar yang diserahkan melalui bawahan Amran bernama Imran S Djumadil pada 22 Agustus 2015.
"Terdakwa mendalilkan pemberian itu untuk orang lain seperti uang untuk dibagikan ke kunjungan kerja ke Maluku dan sebesar Rp2,65 miliar untuk dana optimalisasi yang diserahkan kepada Bupati Halmahera Rudi Erawan. Hal itu tidak memiliki nilai pembuktian karena uang sudah dalam penguasaaan terdakwa dan kepada siapa diberikan tidak lagi relevan," kata JPU KPK Subari Kurniawan
Dalam dakwaan kedua, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara bersama-sama dengan Imran S Djumadil (rekan Amran, politisi PAN di Maluku), Zulkhairi Muchtar alias Heri (rekan Amran dari swasta), Quraish Lutfi (Kepala Satuan Kerja Wilayah I BPJN IX), Abdul Hamid Payapo (pejabat pembuat komitmen Halmahera IV PJN Wilayah 2 Maluku Utara BPJN IX).
"Terdakwa tidak mengakui penerimaan dirinya sendiri adalah untuk menutupi pola penerimaan kepada dirinya dan kepada para pejabat yang merupakan pihak luar meski ada pengembalian uang ke rekening KPK dengan kesadaran sendiri," kata JPU Tri Anggoro Mukti.
Rincian pemberian uang tersebut adalah pertama untuk pemilihan dirinya sebagai kepala BPJN IX, Kedua, penerimaan Rp1 miliar dari Abdul Khoir untuk menutup kekurangan dana suksesi Amran sebagai Kepala BPJN IX, ketiga, penerimaan 202.816 dolar Singapura (Rp2 miliar) dari Abdul Khoir untuk uang Tunjangan Hari Raya (THR) Natal.
Keempat, penerimaan 303.124 dolar AS dan Rp873,285 juta yang dikumpulkan Abdul Hamid Payapo dari para kontraktor; kelima, penerimaan Rp500 juta dari Abdul Khoir melalui Imran S Djumadil; keenam, penerimaan Rp1 miliar dari Abdul Khoir dan Direktur Reza Multi Sarana Rizal untuk membantu Quraish Lutfi dalam uang partisipasi; ketujuh, penerimaan Rp25 juta dari Abdul Khoir yang ditransfer ke rekening Direktur PT Intimkara Budi Liem; kedelapan, Rp200 juta dari Abdul Khoir dan Hong Arta John Alfred sebesar Rp200 juta untuk membantu Bupati Halmahera Utara Rudi Erawan serta kesembilan, penerimaan uang Rp1,5 miliar dari Direktur PT Labrosco Djony Laos.
Sehingga total uang yang diterima oleh Amran adalah Rp6,625 miliar dan 202.816 dari Abdul Khoir; Rp3,6 miliar dari Hong Artha John ALfred, Rp1,5 miliar dari Djonny Laos, Rp500 juta dari Rizal; Rp1 miliar dari Budi Liem; Rp1,1 miliar dari Hasanuddin; Rp400 juta dari Anfiqurahman; Rp1,2 juta dari Hadiruddin.
Terkait perkara ini, sudah ada lima orang sudah divonis yaitu anggota Komisi V dari fraksi PDI-P Damayanti Wisnu Putrani yang divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan, dua rekan Damayanti yaitu Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi sudah divonis masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan serta anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto yang divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 2 bulan kurungan sedangkan Abdul Khoir sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Sedangkan tiga orang berstatus tersangka yaitu Wakil Ketua Komisi V dari fraksi PKS Yudi Widiana Adia, anggota Komisi V dari fraksi PKB Musa Zainuddin dan pemilik PT Cahaya Mas Maluku So Kok Seng alias Aseng. Sementara anggota Komisi V dari fraksi PAN Andi Taufan Tiro masih menjadi terdakwa.
(T.D017/J003)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017