Jakarta (ANTARA News) - Aksi penolakan pengoperasian pabrik semen PT Semen Indonesia di kawasan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, masih berlanjut di depan Istana Merdeka, Rabu.
Namun, tidak ada petani Kendeng di sana. Delapan perwakilan LSM dan mahasiswa menggantikan puluhan petani Kendeng yang sebelumnya tanpa henti beraksi sejak Senin 13 Maret 2017.
Para petani Kendeng tengah berkabung setelah kepergiaan salah satu rekan perjuangan mereka, Patmi (48), yang tutup usia pada pada Selasa (21/3) dini hari di tengah perjuangannya membela tanah airnya sendiri.
Perjuangan mendiang Patmi dan petani Kendeng dilanjutkan para aktivis dan mahasiswa, di antaranya Konsorsium Pembaruan Agraria, KontraS, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI).
"Aksi protes akan terus digelar sampai ada keputusan tegas dari Istana memastikan Ganjar Pranowo mencabut dan mematuhi putusan MA. Kami pastikan aksi ini tidak akan ada jedanya. Saat ini petani Kendeng masih berkabung, maka kami memastikan ini tidak akan berhenti," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Sartika, yang turut melakukan aksi solidaritas mengecor kakinya dengan semen.
ANTARA News/Monalisa
Kepergian Patmi menjadi duka yang menyelimuti perjuangan petani Kendeng yang belum usai. Patmi merupakan salah satu petani Kendeng yang sudah turut serta sejak awal perjuangan-perjuangan petani Kendeng sebelumnya.
Pada aksi #DipasungSemen jilid II ini, Patmi baru menyusul ke Jakarta pada Kamis 16 Maret 2017, bersama kakak dan adiknya serta sekitar 55 warga dari Kabupaten Pati dan Rembang. Tiba di Jakarta, ia langsung bergabung bersama rekan-rekannya di depan Istana Negara, Jakarta. Kakinya dipasung dengan semen.
Setelah berhari-hari memasung kakinya dengan semen, Istana menerima empat perwakilan petani Kendeng pada Senin (20/3).
Lantas pada Senin (20/3) malam Koalisi Untuk Kendeng Lestari memutuskan melanjutkan aksi namun mengubah caranya, dengan hanya menyisakan sembilan orang namun sebagian besar warga akan pulang ke kampung halaman, termasuk Patmi.
Pada awalnya, Patmi sempat menolak pulang. Ia masih ingin berjuang bersama rekan-rekannya di Jakarta. Seperti yang disampaikan putrinya, Sri Utami, Patmi ingin "membela anak cucu, membela tanah airnya".
Dan sebelum sempat pulang ke kampung halamannya, Patmi ternyata dipanggil Yang Maha Kuasa, diduga terkena serangan jantung.
Kepergiaan Patmi menyisakan semangatnya yang tidak padam, yang tetap diteruskan rekan-rekannya..
Melanjutkan semangat Patmi
Mendiang Patmi (berkebaya hitam) saat aksi #DipasungSemen, Jumat (17/3), di depan Isana Negara. (ANTARA News/Monalisa).
Di antara barisan delapan aktivis yang menggantikan aksi protes petani Kendeng di depan Istana Negara, ada papan nisan bertuliskan Patmi binti Rustam. Foto Patmi saat ia melakukan perjuangan terakhirnya juga terpampang, mengingatkan semua yang ada di sana bagaimana perempuan berusia 48 tahun itu berjuang hingga akhir hayatnya.
"Semangat perjuangannya harus kita lanjutkan. Kepergian Ibu Patmi harus menjadi momentum kita semua untuk turun bersama-sama Kendeng dan merepresentasikan masalah agraria di seluruh Indonesia," kata Dewi.
ANTARA News/Monalisa
Kematian Patmi di tengah perjuangannya, kata Dewi, justru tidak mematikan semangat rekan-rekannya tetapi menularkan solidaritas yang semakin luas, dari berbagai serikat petani di daerah dan masyarakat sipil.
"Selama ini kami hanya mendampingi tetapi sekarang saatnya kami harus langsung terlibat (ikut memasung kaki dengan semen. Meskipun kami sedang berkabung tetapi kami punya komitmen untuk harus terus lanjut," ujarnya.
Gugurnya Patmi pun diharapkan terus merekahkan bunga-bunga perjuangan masyarakat Kendeng...
(Baca juga: Kematian Patmi takkan surutkan perlawanan masyarakat Kendeng)
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017