Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati hukum Hendardi menilai perombakan kabinet (reshuffle) jilid dua masih menekankan kepada kekuatan dan kepentingan politik dan mengesampingkan profesionalisme dari sejumlah menteri yang diganti dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). "Pergantian sejumlah menteri masih memperlihatkan kekuatan partai politik ketimbang profesinalisme," kata Hendardi kepada ANTARA News di Jakarta, Senin, menanggapi hasil reshuffle jilid dua KIB. Dia menyebut contoh pergantian menteri di bidang hukum yang diusulkan seperti Ketua Fraksi Golkar, DPR RI Andi Mattalata sebagai Menteri Hukum dan HAM menggantikan Hamid Awaluddin merupakan perwakilan dari Parpol. Karena itu ia khawatir kinerja para menteri KIB. Pasalnya, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memilih para pembantu seperti itu, berarti hanya mengandalkan kekuatan parpol. Apalagi menteri yang dipilh untuk menggantikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaludin tersebut belum mempunyai pengalaman dalam menangani sejumlah kasus hukum dan HAM. "Bagaimana mereka bisa melaksanakan tugas kalau tidak mempunyai pengalaman dalam tugas yang diemban," katanya. Dia mengatakan, banyaknya kasus dalam bidang hukum tak selesai karena tidak ada pengalaman dalam bidang yang mereka emban. Sementara itu, ahli hukum tata negara Harun Al Rasyid tak mau berkomentar dengan adanya reshuffle. Ia hanya menyatakan itu adalah kewenangan dari Presiden. Harun mengatakan, untuk pengalaman bidang yang dijabat para menteri, misalnya menteri Hukum dan HAM, yang berasal dari parpol tidak ada masalah. Sebab, penetapan jabatan menteri itu adalah hak Presiden. "Siapa pun yang terpilih dalam KIB, pengalaman dalam bidang yang mereka emban dari hukum tata negara tidak masalah, sebab itu hak presiden dan yang penting bisa melaksanakan tugas yang dipercayakan" ujarnya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007