Pemanggilan tersebut agar kasus ini bisa menjadi terang benderang dan bisa menyeret pelaku lainnya yang ikut menikmati uang dari hasil korupsi di Banten."

Jakarta (ANTARA News) - Kepala Madrasah Anti Korupsi (MAK) Universitas Muhammadiyah Tangerang Gufroni meminta kepada KPK untuk memanggil nama-nama yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan keterangan dari lima saksi yang dihadirkan pada sidang kedua Ratu Atut Chosiyah.

"Misalnya, beberapa kali disebut nama Andika Hazrumy anak Atut yang saat itu menjabat Anggota DPD RI yang ikut hadir dalam pertemuan bersama Atut dan Tubagus Chairil Wardana (Wawan) meminta dana taktis kepada beberapa Kepala Dinas yang hadir," kata Gufroni dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.

Selanjutnya kata Gufroni, ada nama-nama lain yang menerima uang dari Wawan (adik Atut) termasuk ada nama Rano Karno yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Banten yang disebut menerima uang dan nama-nama lain sebagaimana dalam isi dakwaan.

"Pemanggilan tersebut agar kasus ini bisa menjadi terang benderang dan bisa menyeret pelaku lainnya yang ikut menikmati uang dari hasil korupsi di Banten," ucap Gufroni.

Pada Rabu (15/3) sidang lanjutan persidangan perkara korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (Atut) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam persidangan itu, Gubernur Banten Rano Karno disebut mendapat lebih dari Rp700 juta dari pemilik atau Komisaris Utama PT Bali Pacific Pragama (PT BPP) Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

"Yang diserahkan lebih dari Rp700 juta," kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Banten Djaja Buddy Suhardja dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (15/3).

Uang tersebut merupakan bagian proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) RS Rujukan Banten dari APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012 sebesar Rp235,52 miliar yang dikerjakan oleh PT BPP.

KPK menetapkan Atut sebagai tersangka terkait tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Rujukan Pemerintah Provinsi Banten yang masuk dalam APBD dan APBD Perubahan 2012.

"Ratu Atut Chosiyah bersama-sama dengan Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan melakukan pengaturan dalam proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan provinsi Banten pada APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alat kesehatan (alkes) RS Rujukan pemprov Banten TA 2012 sehingga memenangkan pihak-pihak tertentu," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Afni Carolina saat pembacaan surat dakwaan di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/3).

Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp79,79 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK pada 31 Desember 2014.

"Yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu menguntungkan terdakwa Ratu Atut Chosiyah sebesar Rp3,859 miliar, menguntungkan orang lain yaitu Tubagus Chaeri Wardana Chasan sebesar Rp50,083 miliar, Yuni Astuti Rp23,396 miliar, Djadja Buddy Suhardjo Rp590 juta, Ajat Ahmad Putra Rp345 juta, Rano Karno sebesar Rp300 juta, Jana Sunawati Rp134 juta. Kemudian, Yogi Adi Prabowo sebesar Rp76,5 juta, Tatan Supardi sebesar Rp63 juta, Abdul Rohman sebesar Rp60 juta, Ferga Andriyana sebesar Rp50 juta, Eki Jaki Nuriman sebesar Rp20 juta, Suherma sebesar Rp15,5 juta, Aris Budiman sebesar Rp1,5 juta dan Sobran Rp 1 juta," tambah jaksa Afni.

Kerugian negara juga bertambah karena ada pemberian fasilitas berlibur ke Beijing berikut uang saku senilai total Rp1,659 miliar untuk pejabat Dinkes Banten, tim survei, panitia pengadaan dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan.

Dalam perkara ini, Atut didakwa dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017