Dalam diskusi bertajuk "Breaking Gender Barriers" yang diselenggarakan UN Women, Uni Eropa, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta, Kamis malam, Mercy menjelaskan sejak akhir Orde Baru hingga pascareformasi kini perempuan menghadapi sintesa pertarungan, di luar ruang privat dan ruang publik, yang disebut "displacement".
"Kita menarik perempuan dari struktur berpikir dikotomis antara privat dan publik, untuk masuk ke dalam ranah baru antara lain ruang politik. Terjadi institusionalisasi ruang dimana perempuan harus masuk ke sana," kata dia.
Meski diakuinya banyak tantangan bagi perempuan yang ingin menekuni bidang politik, namun perempuan wajib masuk dalam sistem politik untuk mendorong perubahan-perubahan besar yang akan membawa dampak positif bagi kehidupan perempuan.
Terlebih, saat ini keterwakilan perempuan di parlemen baru mencapai 17 persen dari kuota 30 persen yang ditetapkan melalui kebijakan afirmasi dalam sistem pemilu.
Hambatan pertama yakni tantangan domestik yang berlapis-lapis mulai dari keluarga, diri, kemiskinan, moral masyarakat, hingga isu kekerasan terhadap perempuan.
Sementara pada level struktural dan prosedural, perempuan dituntut untuk dapat mereposisi diri dan tangguh menempuh berbagai prosedur seperti menjadi bagian dalam struktur partai politik, mengikuti nominasi untuk calon legislatif, dan sebagainya yang prosesnya begitu panjang.
Tantangan terakhir berkaitan dengan mentoring dan jejaring dimana perempuan harus mampu melawan sentimen negatif dan struktur nilai yang telah terbentuk sedemikian rupa oleh diskriminasi laki-laki, yang menghalangi perempuan berkarir di bidang politik.
"Yang jelas perempuan harus berada dalam sistem (politik) agar tidak terjadi kekosongan perspektif perempuan dalam penentuan kebijakan publik," ungkap anggota DPR dari fraksi PDI-P itu.
Meskipun lebih banyak melakukan kerja legislasi dalam bidang energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup, Mercy tidak melupakan tugasnya untuk ikut menyuarakan aspirasi perempuan di parlemen.
Perempuan asal Maluku itu mengaku sedang membangun gerakan sipil perempuan berbasis kepulauan, yang dirasanya lebih menantang dibanding menggerakkan perempuan yang tinggal di kontinental pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, atau Kalimantan.
Perempuan-perempuan pulau dan pesisir, menurut dia, memiliki narasi dan pengalaman sendiri yang tidak mudah diungkapkan kepada wakil-wakil mereka di parlemen.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017