"Kalau (disebut-sebut) ada intervensi tidak akan bisa dimungkinkan. Pimpinan sekarang terpilih akhir 2015, sedangkan penyidikan sejak 2014, penyelidikan sudah sejak sebelumnya. Jadi terlalu jauh kalau dihubungkan dengan personal pimpinan KPK," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Hal itu ia sampaikan menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK Fahri Hamzah yang menyatakan bahwa Ketua KPK Agus Rahardjo punya konflik kepentingan dalam kasus korupsi KTP-E karena sebelumnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) yang memberikan pendapat mengenai pengadaan KTP-E.
Menurut Fahri, Agus Rahardjo saat itu melobi Kemendagri untuk memenangkan salah satu konsorsium peserta lelang KTP-E.
"Terkait posisi ketua KPK sebelumnya, dalam dakwaan kita sudah sebutkan terkait paket pengadaan, 9 paket oleh LKPP disarankan agar dipecah karena berpotensi korupsi dan agar tidak memonopoli. Saran LKPP saat itu bukan saran individu tapi ini saran kelembagaan. Artinya LKPP sudah memberikan kajian dan hasilnya untuk mencegah tindak pidana korupsi yang tidak ditaati Kemendagri," jelas Febri.
Apalagi menurut Febri, penyidikan KPK dimulai dari bawah yaitu para penyelidik dan penyidik dengan mengumpulkan bukti-bukti sehingga pimpian tidak ada yang bisa pengaruhi keputusan pimpinan lain.
Sementara terkait usulan hak angket yang digulirkan oleh Fahri, Febri mengaku bahwa KPK tidak bisa melarang DPR untuk menjalankan kewenangannya sesuai UU.
"Hak angket itu bukan domain KPK. Namun begitu, kami juga dengar bahwa sejumlah anggota DPR juga menghargai proses hukum sesuai dengan supremasi hukum sehingga proses-proses politik yang bisa mengganggu penanganan kasus KTP-E tidak dilakukan. Presiden sudah mendukung KPK tuntaskan KTP-E, ketua MPR juga demikian, dan kemudian sejumlah petinggi parpol mendukung KPK untuk penuntasan kasus ini," ungkap Febri.
KPK pun tidak gentar dengan ancaman hak angket yang rencananya akan diajukan oleh sejumlah pihak di DPR tersebut.
"Jadi kami berharap semua pihak mendukung penuntasan kasus KTP-E ini karena bukan hanya untuk keperluan KPK tapi demi kepentingan masyarakat secara luas. Kami meminta pengawalan dari publik untuk penuntasan kasus ini karena berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika KPK menangani perkara besar, KPK selalu mendapatkan perlawanan untuk melemahkan," jelas Febri.
Dalam kasus ini, baru ada dua orang terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Anggaran KTP-E bernilai total Rp5,92 triliun dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.
Pewarta: Desca Lidya
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017