"Kita sesuaikan dengan kebutuhan (penempatan jaksa di BPOM)," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di sela acara penandatanganan kesepakatan antara BPOM dengan Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa.
Melalui kerja sama itu, dia mengatakan, Kejaksaan Agung dan BPOM ingin meningkatkan profesionalitas dan kemampuan personel BPOM dalam menangani kasus kejahatan terkait obat dan makanan.
Ia juga mengatakan bahwa Kejaksaan telah menangani kasus vaksin palsu yang para pelakunya dituntut dengan pidana mendekati ancaman maksimal.
"Hukuman 14 tahun, kita tuntut 12 tahun, ada yang divonis 12 tahun dituntutnya 10 tahun," katanya.
Ia berharap kasus itu menjadi peringatan bagi para pelaku kejahatan supaya jera membuat obat dan vaksin palsu, dan mengedarkan makanan kadaluarsa.
"Semuanya bisa bukan justru menyehatkan tapi malah justru bisa mencelakakan," katanya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rachmad menyatakan BPOM memiliki 500 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bisa menangani kejahatan bidang obat dan makanan.
"Intensitas PPNS dengan jaksa penuntut umum harus ditingkatkan, tentu berkaca pada kenyataan adanya 500 PPNS BPOM, terbesar di antara kementerian dan lembaga. Ini kejahatan kemanusiaan, ini harus diatasi secara serius," katanya.
Nota kesepahaman kerja sama dengan BPOM dibuat untuk mendukung pengungkapan modus operandi, motif kejahatan, luas jaringan, serta aktor intelektual kejahatan terkait makanan dan obat.
Noor Rachmad mengatakan dukungan ahli BPOM penting dalam penelisikan, penanganan dan penuntutan perkara kejahatan bidang obat dan makanan yang semakin mutakhir.
"Ahli harus ada yang berkualitas, termasuk produk laboratoriumnya, pasal yang disangkakan," katanya.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menyatakan kejahatan terkait produk obat dan makanan mengancam ketahanan bangsa karenanya BPOM berusaha memperkuat pengawasan dan penegakan hukum dengan bekerja sama dengan lembaga lain seperti kejaksaan.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017