Jakarta (ANTARA News) - Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej, yang dihadirkan kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai saksi, menyatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan ragu-ragu terkait sangkaan pasal terhadap Ahok dalam kasus penodaan agama.
"Hal itu disebabkan adanya pasal alternatif yang disertakan dalam dakwaan sehingga ada keraguan dari penuntut umum," kata Edward saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa tidak relevan apabila Ahok disangkakan dengan Pasal 156 KUHP karena pasal tersebut bukan merujuk terhadap penodaan agama.
"Harusnya Pasal 156a KUHP. Pasal 156a KUHP yang disangkakan pada status aquo tidak hanya menghendaki kesengajaan tetapi juga menghendaki niat. Niat itu tidak bisa diukur dari ucapan tetapi juga harus dilihat dari keadaan kesehariannya apakah betul pelaku itu punya niat atau tidak," ucap Edward.
Dalam lanjutan sidang Ahok ini, tim kuasa hukum Ahok memanggil tiga saksi fakta dan satu ahli hukum pidana.
Tiga saksi fakta itu antara lain Juhri, seorang PNS di Bangka Belitung yang juga mantan Ketua Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten Belitung saat Pilkada Bangka Belitung 2007, Suyanto yang seorang sopir Ahok dari Belitung Timur, dan Fajrun yang juga teman sejak kecil Ahok dari Belitung Timur, serta ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017