"Kami sedang coba hitung per desa, habis dana berapa untuk melaksanakan restorasi. Ini supaya dana yang telah disalurkan juga tidak sia-sia, dan ini juga bisa jadi benchmark (patokan) untuk donor yang hendak melakukan restorasi gambut," kata Deputi III BRG Myrna A Safitri di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, baik pihak swasta maupun donor yang bekerja bersama lembaga swadaya masyarakat biasanya tidak mau mengambil risiko kegagalan untuk satu program, sehingga terkadang dana yang mereka salurkan hanya menumpuk di satu lokasi yang dianggap tidak berisiko.
Dari persoalan ini, menurut dia, BRG sebagai perwakilan dari negara perlu masuk terlebih dulu untuk juga memetakan strategi pelaksanaan restorasinya di sejumlah desa.
Dengan memperhitungkan kegiatan A sampai Z dengan kualitas tertentu harusnya bisa jadi benchmark pihak donor dengan dana APBN yang digunakan BRG menghasilkan jangkauan yang lebih luas.
"Jadi dengan dana yang lebih besar hasil yang dikerjakan jauh lebih baik dari apa yang sudah dikerjakan BRG," ujar Myrna.
Selain itu, patokan tersebut mempermudah memperkirakan kebutuhan dana dengan jumlah dan luasan desa yang bisa tergarap. Dengan demikian, donor yang bekerja sama dengan LSM mau menjangkau desa-desa dan bisa dipetakan pembagian kerja di lapangan.
"Katakan satu KHG (Kesatuan Hidrologi Gambut) misalkan ada 100 desa. Ya donor yang bekerja sama dengan LSM bisa duduk bareng, memutuskan siapa mau pegang yang mana," lanjutnya.
BRG, menurut dia, mengkombinasikan indikator status desa dengan keberhasilan restorasi gambut. Sehingga nantinya harapannya bisa diperkirakan dalam setahun dengan intervensi tertentu yang sudah dilakukan di satu desa terjadi pula berapa peningkatan status desa.
"Dengan kita sudah punya baseline status desa di area gambut yang harus direstorasi kita bisa lihat perubahnnya seperti apa. Kalau tidak meningkat dalam setahun berarti tidak ada gunanya juga," ujar dia.
BRG akan menggunakan indikator milik Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) untuk melihat keberhasilan program restorasi gambut di desa.
"Meski sayangnya belum seluruh dari 2.945 desa di lahan gambut di Indonesia sudah dimiliki oleh Kementerian," kata Mryna.
BRG, ia mengatakan telah melakukan intervensi ke 105 desa di 2016 dengan luas area mencapai 806.312 hektare (ha) di Kabupaten Pulang Pisau, Ogan Komering Ilir, Kepulauan Meranti dan Musi Banyuasin. Dan di 2017, target intervensi dilakukan hingga 125 desa.
Total desa yang akan didampingi hingga 2020 dengan menggunakan dana APBN mencapai 300 desa, dengan dana donor 200 desa, dan kemitraan dengan perusahaan (desa dan areal konsesi) 500 desa.
BRG juga telah merampungkan panduan restorasi gambut untuk desa. Meski demikian pelaksanaan di setiap desanya, menurut dia, kemungkinan tidak akan sama karena disesuaikan dengan karakter desa dan apa yang sudah ada di sana.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017