Jakarta (ANTARA News) - Penerapan secara penuh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dinilai meningkatkan daya saing produk furnitur dan kerajinan Indonesia, khususnya di pasar Uni Eropa.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rufi'ie di Jakarta, Sabtu, menyatakan, produk furnitur dan kerajinan nasional bisa memenuhi tuntutan pasar global akan kayu legal dan lestari.
"Pasar internasional mengapresiasi produk Indonesia yang dilengkapi dokumen V-Legal yang diterbitkan berdasarkan SVLK," katanya pada pembukaan Stand Indonesian Legal Wood pada Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2017 di Jakarta Internatioal Expo, Kemayoran.
Menurut data Sistem Informasi Legalitas kayu Kementerian LHK, tambahnya, nilai ekspor produk furnitur dan kerajinan yang menggunakan dokumen V-Legal meningkat dari 635,5 juta dolar AS di tahun 2015 menjadi 916,5 juta dolar AS pada 2016. Sedangkan pada 2017, sampai Februari, nilai ekspor sudah mencapai 252,3 juta dolar AS.
Khusus untuk pasar Uni Eropa, peningkatan ekspor furnitur dengan dokumen V-Legal sangat nyata pada empat bulan terakhir sejak November 2016-Februari 2017. Pada November, nilai ekspor furnitur tercatat 14,6 juta dolar AS, kemudian melonjak pada Desember 2016 menjadi 31,9 juta dolar AS.
Nilai ekspor kemudian tercatat 31,7 juta dolar AS pada Januari 2017, dan kembali meningkat pada Februari 2017 menjadi 34, 4 juta dolar AS.
Rufiie menyatakan, peningkatan daya saing yang begitu kentara di pasar Uni Eropa tak lepas dari penyetaraan dokumen V-Legal sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) terhitung 15 November 2015.
"Penyetaraan ini membuat produk kayu kayu Indonesia bisa masuk pasar Uni Eropa tanpa melewati pemeriksaan uji tuntas (due dilligence) yang memakan waktu dan biaya," katanya.
Dia menyatakan, penyetaran dokumen V-Legal sebagai lisensi FLEGT diperoleh setelah SVLK diimplementasikan secara penuh pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan No 25 tahun 2016 tentang Ketentuan ekspor Produk Industri Kehutanan terhitung 15 April 2016.
Berdasarkan ketentuan itu, seluruh produk kayu yang diekspor, termasuk furnitur dan kerajinan harus dilengkapi dengan dokumen V-Legal.
"Saat ini adalah momentum yang tepat untuk terus mendorong kinerja ekspor produk funitur dan produk kayu lainnya di pasar ekspor. Dunia internasional kini makin percaya bahwa produk kayu asal Indonesia dihasilkan secara legal dan lestari," katanya.
Dia mengajak semua pihak untuk bahu membahu agar seluruh pelaku usaha perkayuan di tanah air, khususnya usaha kecil dan menengah, bisa memenuhi indikator yang ditetapkan pada SVLK.
Terkait masih tingginya industri kecil dan menengah yang sudah tersertifikasi, Rufiie menyatakan, pemerintah akan melakukan fasilitasi serta memberi pendampingan agar mereka mendapatkan sertifikat SVLK.
Kementerian KLHK, lanjutnya, telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp500 juta untuk membantu IKM memperoleh sertifikasi, begitu juga kementerian lain yang terkait seperti Kementerian Perindustrian juga menyediakan dana untuk itu.
"Seluruh pemangku kepentingan, termasuk juga pemerintah daerah harus mendukung agar usaha kecil dan menengah untuk lulus dalam sertifikasi SVLK," katanya
Program Director Multistakeholder Forestry Program (MFP) Smita Notosusanto menyatakan, pihaknya juga mengalokasikan dana sekitar Rp1 miliar untuk membantu IKM mendapatkan sertifikasi.
Menurut dia, dalam hal sertifikasi produk kayu sebenarnya Indonesia lebih maju dibandingkan negara lain karena Indonesia yang mengusulkannya.
Smita menilai, ke depan Kementerian LHK agar lebih memprioritaskan IKM yang bergerak di sektor hulu, yakni yang memasok bahan baku industri untuk mendapatkan sertifikasi SVLK karena IKM di sektor hilir atau pengolahan sudah ditangani Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi UKM.
Pewarta: Subagyo
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017