Canberra (ANTARA News) - Ketua Umum DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla, belum pasti tetap mau menjadi "orang nomor dua" di Indonesia, karena Pemilihan Presiden 2009 adalah "now or never" (sekarang atau tidak sama sekali) bagi dia, kata pengamat politik Kacung Marijan, MA, PhD. "Apa yang disampaikan Ken Ward (analis politik dari Institut Lowy, Australia-red.) ada benarnya...Namun, masing-masing kan (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla-red.) punya instrumen untuk melihat probabilitas dirinya masing-masing melalui lembaga-lembaga polling," katanya di Canberra, Sabtu. Bagi Kacung Marijan yang menjadi "visiting fellow" di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Universitas Nasional Australia (ANU) hingga Juni 2007 ini, Jusuf Kalla akan maju menjadi calon presiden RI jika ia memiliki pasangan yang kuat dan yakin memiliki probabilitas yang "lumayan kuat". "Bagi Jusuf Kalla tahun 2009 itu adalah 'now or never' karena umurnya. Selain itu, kepemimpinan Partai Golkar ke depan belum tentu tetap di tangannya, sehingga sekali lagi tahun 2009 adalah 'now or never' bagi Kalla," katanya. Namun, pertimbangan pragmatis tetap kuat dalam hal ini. Bagi Jusuf Kalla dan timnya, tetap menjadi orang nomor dua di Republik Indonesia ini tak masalah daripada "tidak menjadi apa-apa", kata Kacung Marijan, menanggapi hasil analisa Ken Ward yang menyebutkan Jusuf Kalla (JK) telah menepis ambisinya menjadi presiden karena ia tidak sepopuler Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam pandangan Kacung, seandainya SBY-JK tetap menjadi pasangan presiden dan wakil presiden RI pada Pemilu 2009, probabilitas keduanya untuk bisa memenangi pertarungan itu pun sangat tergantung pada kinerja pemerintahan mereka dua tahun ke depan. "Itulah sebabnya 'reshuffle' (perombakan) kabinet menjadi sangat krusial bagi mereka. Kalau mereka tetap mempertahankan menteri-menterinya yang tidak bagus kinerjanya, ya mereka akan mendapatkan kesulitan nantinya. Misalnya, SBY-JK sudah dikenal publik sebagai pemimpin yang sangat ingin memberantas korupsi." "Namun, dua pembantu mereka, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin misalnya diketahui masyarakat bermasalah walaupun secara legal tidak terlibat dalam kasus korupsi. Problemnya adalah, yang namanya persepsi di masyarakat bukan semata-mata persoalan benar atau salah. Kalau dipersepsi masyarakat salah, ya masyarakat menganggap mereka "sudah salah". Ini bisa menurunkan citra pemerintahan SBY-JK di bidang hukum," katanya. Pengampunan publik Kendati demikian, SBY-JK bisa diampuni publik jika pemerintahnya bisa memajukan ekonomi dengan mengesankan. Ukurannya antara lain adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya angka kemiskinan dan penangguran, naiknya cadangan devisa, dan nilai investasi langsung asing, dan terjaminnya stabilitas harga sembilan bahan pokok, katanya. "Kalau ini tercapai, SBY-JK bisa diampuni rakyat karena yang penting bagi mereka adalah ekonomi yang baik dan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, pos-pos perdagangan, fiskal, pajak, dan pos industri menjadi sangat krusial bagi pemerintahan SBY-JK," katanya. Sebelumnya, Peneliti Senior tentang Indonesia di Institut Lowy Australia, Ken Ward, melihat peluang SBY-JK untuk kembali terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI pada Pemilu 2009 tetap besar, kendati popularitas pemerintahan mereka cenderung menurun. "Saat ini, Presiden Yudhoyono berprospek baik untuk terpilih kembali pada 2009. Beliau kemungkinan tetap memilih Jusuf Kalla sebagai pasangannya," kata Ward dalam artikelnya bertajuk "Dealing with a Democratic Indonesia: the Yudhoyono Years" yang dipublikasi Institut Lowy. Menurut analis politik yang sudah 20 kali mengunjungi Indonesia itu, perkiraannya tentang kemenangan Yudhoyono pada Pemilihan Presiden 2009 itu antara lain didasarkan pada asumsi Jusuf Kalla sendiri tidak akan mencalonkan diri sebagai kandidat dan dia tidak sepopuler Yudhoyono. "Kalla sendiri telah menepis ambisinya menjadi presiden atas dasar bahwa dia tidak dapat bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono karena dia bukan orang Jawa. Faktanya, jajak pendapat tidak mendukung pandangan bahwa hanya orang Jawa yang dapat menjadi presiden terpilih. Alasan yang lebih jelas adalah Jusuf Kalla tidak sepopuler SBY," katanya. Sekiranya Jusuf Kalla berani mencalonkan diri sebagai calon presiden pada 2009, maka hal itu justru menjadi taruhan yang berbahaya karena dia akan dengan mudah dianggap "tidak setia atau oportunis", kata akademisi Australia yang kini bekerja sebagai konsultan masalah terorisme dan politik Asia Tenggara itu. Ward lebih lanjut mengatakan para politisi senior seperti Megawati Soekarnoputri dan Jenderal (Purn) Wiranto tidak akan mampu menyaingi pasangan SBY-JK, sehingga "ditantang oleh muka-muka lama seperti ini, SBY-JK tidak punya kekhawatiran yang besar." Selain itu, dalam dua tahun mendatang, kecil kemungkinan muncul para pemimpin baru di Indonesia yang memiliki prospek besar untuk memenangi Pemilihan Presiden 2009, kata Ward yang pernah menjadi analis senior tentang Indonesia di Kantor Asesmen Nasional (ANA) Australia selama delapan tahun sejak 1996 itu. Kelebihan lain Presiden Yudhoyono adalah bahwa dia tetap seorang nasionalis sebagaimana telah ia tunjukkan kepada Australia dalam kasus pemberian visa menetap sementara bagi 42 pencari suaka asal Papua tahun lalu, namun "memiliki hubungan personal yang mudah dengan para pemimpin Barat", katanya.Tak mudah dikelola Mengenai Indonesia selama kepemimpinan SBY-JK, Ward mengemukakan negara demokratis dengan penduduk Muslim terbesar di dunia itu masih menghadapi sejumlah masalah pembangunan yang parah, seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. "Kendati Indonesia telah mencapai dasar-dasar ekonomi makro yang kuat, belum tampak bahwa Indonesia yang demokratis ini sudah dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti di era Soeharto," katanya "Lebih dari itu, belum juga jelas apakah program desentralisasi yang telah diterapkan beberapa tahun terakhir ini akan dapat mempercepat atau justru memperlambat pertumbuhan ekonomi," katanya. Datangnya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang bertubi-tubi dengan jumlah korban yang tinggi semakin menunjukkan "betapa Indonesia itu merupakan negara yang tidak mudah dikelola", katanya. Bagi Australia, kata Ward, pemahamannya terhadap Indonesia yang semakin kompleks perkembangannya ini harus tetap besar. Namun, di tengah dinamika Indonesia yang sedemikian rupa, justru semakin sedikit orang Australia yang tertarik pada studi tentang Indonesia dibandingkan di masa lalu. "Tampaknya, penerbitan peringatan perjalanan ke Indonesia (oleh Pemerintah Australia-red) semakin menambah ketidakpopuleran Indonesia sebagai subyek studi," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007