Istanbul (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Turki, Recep Tayyip Erdogan, dan pemimpin militer di negeri itu bertatap muka langsung Jumat untuk pertama kali sejak militer pekan lalu mengancam akan melindungi sistem sekuler di negeri tersebut. Recep Tayyip Erdogan menerima Jenderal Yasar Buyukanit di kantornya di Istanbul, kata juru bicara Erdogan, Mehmet Akif Beki, tanpa memberi perincian. Kedua pemimpin itu melakukan "penilaian mengenai suasana umum" selama pertemuan dua jam mereka, yang diserukan oleh Erdogan, kata satu sumber dari kantor Perdana Menteri. Jumat lalu, militer Turki --yang telah menggulingkan empat pemerintah dalam beberapa dasawarsa-- mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dengan menuduh pemerintah Erdogan mentolerir kegiatan kubu Islam yang meningkat dan mengancam akan bertindak. Pemerintah bereaksi keras, dan menyeru militer agar tenang. Erdogan dan Buyukanit berbicara melalui telefon sehari setelah pernyataan militer dikeluarkan, beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Abdullah Gul nyaris terpilih sebagai presiden di parlemen. Itu dipandang banyak kalangan sebagai isyarat bahwa Gul, mantan tokoh Islam, tak diterima sebagai kepala negara oleh militer. Prospek terpilihnya seorang presiden dari partai berlandaskan Islam yang memerintah telah membuat khawatir kaum sekuler, dan lebih dari satu juta orang berpawai di Istanbul akhir pekan lalu. Peristiwa itu diikuti oleh demonstrasi di Ankara pada 14 April. Pawai umum ketiga direncanakan berlangsung di kota Manisa di bagian barat negeri tersebut, Sabtu waktu setempat. Seorang menteri senior sebelumnya menyerukan diakhirinya pertikaian dengan militer, tantangan terbesar bagi Erdogan sejak ia memangku jabatan pada Maret 2003. "Saya harap kami dapat meninggalkannya di sini. Ini demi keuntungan kita semua," kata Wakil Perdana Menteri Abdullatif Sener kepada stasiun televisi CNN Turki. Krisis itu memaksa Erdogan untuk menyerukan pemilihan umum dini. Parlemen pada Kamis menyetujui untuk memajukan pemungutan suara jadi 22 Juli dari November. Sementara itu pada Jumat, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), pimpinan Erdogan, bertindak untuk mengajukan satu paket pembaruan besar ke parlemen bahwa presiden akan dipilih oleh rakyat dan bukan oleh parlemen. Strategi baru tersebut dilancarkan menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi, Selasa, yang membatalkan pemungutan suara babak pertama di parlemen dalam pemilihan seorang presiden baru di tengah penentang luas terhadap Gul, sang calon tunggal. "Keputusan pengadilan ... membuatnya tak mungkin untuk memilih seorang presiden di parlemen. Blokade ini mesti diselesaikan," kata Sener. Ketentuan utama dalam memilih presiden hasil pemilihan mencerminkan keyakinan AKP dalam membuat calonnya terpilih melalui suara rakyat, tanpa campur-tangan parlemen. Satu komisi konstitusional yang didominasi AKP mulai mengkaji rancangan pembaruan itu segera dalam upaya mengajukannya dalam pemungutan suara di majelis umum dalam sesegera mungkin, demikian AFP. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007