"Kami akan pertimbangkan berbagai kemungkinan hukum tentu saja termasuk juga penerbitan sprinlidik atau sprindik dalam perkara ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Namun, kata Febri berbagai kemungkinan hukum itu masih terus kami pertimbangkan karena KPK baru melakukan proses awal dari koordinasi di internal setelah putusan tersebut.
Terkait koordinasi internal itu, ia mengatakan proses diskusi sudah berjalan terkait dengan keputusan tersebut dan memang kami sudah bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan dalam putusan itu.
Misalnya, kata Febri KPK fokus tentang kesepakatan bersama atau nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK pada 2012 yang digunakan dalam putusan praperadilan Bupati Nganjuk itu sudah tidak berlaku sejak Maret 2016 lalu.
"Kami ingin mematuhi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sebenarnya bicara koordinasi dengan Polri dan Kejaksaan itu dilakukan kalau sudah penyidikan sementara ini putusan praperadilan mendasarkan proses penyelidikan, jadi itu dua hal yang berbeda tentu saja," tuturnya.
Kemudian, Febri juga mengatakan KPK juga sudah mempelajari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 terkait putusan praperadilan itu.
"Misalnya, dalam Perma itu disebutkan bahwa salah satu ruang lingkup praperadilan untuk pengujian status tersangka itu adalah aspeknya formil dan prosedural dan yang diuji adalah ada atau tidaknya dua alat bukti," katanya.
"Karena KPK kan diberi kewajiban untuk memenuhi dua alat bukti tersebut, nah sementara dalam putusan ini yang diuji kan jauh berbeda ada keputusan bersama, prosesnya pun penyelidikan nah ini yang sudah kami bicarakan dalam rapat di internal," kata Febri.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal I Wayan Karya pada putusan Senin (6/3) menerima sebagian permohonan praperadilan yang diajukan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman.
Politisi PDI Perjuangan itu disangkakan pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai penerimaan gratifikasi, dengan ancaman bagi pelaku yang terbukti adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain terjerat kasus gratifikasi, Taufiqurrahman juga menjadi tersangka dalam pengadaan lima proyek pembangunan dan perbaikan jalan di Kabupaten Nganjuk tahun 2009.
Lima proyek yang diduga menjadi lahan korupsi Bupati Nganjuk adalah pembangunan jembatan Kedungingas, proyek rehabilitasi saluran Melilir Nganjuk, perbaikan jalan Sukomoro sampai Kecubung, rehabilitasi saluran Ganggang Malang, dan proyek pemeliharaan berkala jalan Ngangkrek ke Blora di Kabupaten Nganjuk.
Dalam kasus itu KPK menyangkakan pasal 12 huruf i UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada Taufiq.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Penyidik KPK juga sudah menggeledah lima lokasi lain yaitu rumah pribadi Bupati Nganjuk, rumah dinas Bupati Nganjuk, kantor Bupati Nganjuk, rumah pribadi Taufiqurrahman di Jombang serta kantor Sekda Jombang Ita Triwibawati yang merupakan istri Taufiqurrahman.
(B020/H007)
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017