Berusia 60-an tahun, rambut putih gondrong yang diikat ekor kuda, serta pernak-pernik yang dipakai, membuatnya sepintas terlihat seperti nenek-nenek.
Aman Andres adalah salah satu Sikerei (dukun tradisional) yang bertahan hidup di pedalaman Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, jauh dari jauh dari hingar bingar modernisasi.
Dibutuhkan waktu sekitar empat jam naik sampan bermesin (pompong) menyusuri sungai, ditambah satu setengah jam berjalan kaki merambah jalan berlumpur tebal untuk mencapai dusun Rogogot, Desa Madobak, tempat Aman Andres berdomisili.
Sikerei ini mempunyai tiga nama dengan nama asli Soromut. Setelah mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Andres, namanya pun berubah menjadi Aman Andres, yang berarti ayah dari Andres. Tapi tradisi tersebut tidak berlaku jika yang lahir anak perempuan.
Menurut tradisi Mentawai, sikerei jika mempunyai anak laki-laki, namanya pun berganti menjadi mengikuti nama anak laki-laki pertama.
Nama lain yang lebih populer adalah Koki, yaitu pemberian seorang turis asal Perancis karena sikerei ini pintar memasak. Sampai sekarang, Koki merupakan panggilan yang lebih populer dan disukai.
Dusun Rogogot memang sering dikunjungi oleh turis asing yang menyukai jenis wisata minat khusus, serta turis domestik yang datang berombongan maupun secara individu.
Ketika ditemui di rumah panggung besarnya (uma) di dusun Ragogot, Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan beberapa waktu lalu, Aman Andres tampak sedang gundah, meski kegundahan tersebut tidak mengurangi keramahan kepada tamu yang berkunjung.
Ismael, seorang pemandu yang mengantar Antara ke dusun itu mengatakan bahwa Aman Andres baru saja kehilangan anak laki-lakinya.
Karena ia hanya punya dua orang anak dan anak yang satu lagi perempuan, maka putuslah harapan Aman Andres untuk meneruskan tradisi sikerei kepada keturunan berikutnya.
Di uma yang berukuran sekitar 10x15 meter itu, Aman Andres hidup bersama istrinya yang sedang sakit, sementara anak perempuannya mengikuti suami tinggal di Muara Siberut.
Dari bawah uma tersebut, terdengar lenguhan puluhan ekor babi dan ayam yang sedang mengais makanan di antara potongan pohon sagu. Babi adalah salah satu harta yang paling berharga bagi keluarga sikerei karena menjadi salah satu syarat wajib dalam melakukan berbagai upacara adat.
"Sejak Andres meninggal, kesehatan istrinya langsung memburuk. Mereka percaya bahwa ada sesuatu yang salah dalam melakukan upacara adat sehingga membuat marah arwah leluhur," kata Ismael yang juga keponakan dari Aman Andres.
Aman Andres adalah salah satu dari sedikit sikerei yang tersisa di seluruh Kabupaten Kepulauan Mentawai. Penyebabnya bukan hanya karena semakin berkurangnya upacara adat yang membutuhkan jasa mereka, tapi juga karena semakin berkurangnya minat generasi muda menjadi penerus. Generasi muda yang sudah mendapatkan pendidikan, memilih bekerja dan tinggal di ibukota kecamatan Muara Siberut atau Ibukota Kabupaten Tuapejat.
Sementara sebagian generasi tua memilih hidup di pedalaman, meneruskan kehidupan seperti leluhur mereka, jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern. Saat ini, sikerei hanya bisa dijumpai di Kecamatan Siberut Selatan, sementara di tempat lain seperti di Pulau Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan, hampir tidak ditemukan lagi.
Perantara
Sikerei atau tabib, sebelumnya memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Mentawai, karena selain ahli dalam pengobatan, juga menjadi pimpinan dalam setiap upacara, mulai dari kematian, kelahiran, pergi ke ladang maupun berburu ke hutan. Begitu pentingnya peran sikerei tersebut, maka Kepulauan Mentawai pun dikenal dengan sebutan "Bumi Sikerei".
Menurut pengamat sosial Imran Rusli, sikerei sebenarnya tidak sekedar dukun yang jasanya diperlukan untuk mengobati orang sakit atau untuk meramal nasib, tapi juga sebagai mediator yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia di alam nyata dengan makhluk halus di alam maya agar harmoni bisa tetap terjaga.
Adalah fakta bahwa sikerei bukanlah profesi yang sengaja dicari-cari, melainkan semacam panggilan. Mereka yang menjadi kerei tidak jadi kerei karena mereka menginginkan, melainkan terpilih dan mereka tak bisa lari dari pilihan tersebut. Pilihan itu dijatuhkan lewat mimpi.
Setelah terpilih, sikerei kemudian dibekali kemampuan memahami dan berbicara dalam bahasa roh dan jiwa-jiwa yang ada di dunia lain, dunia mahluk halus yang diyakini paralel dengan dunia nyata.
"Namun kedua penghuni dunia yang berbeda ini bisa saja saling berbenturan tanpa salah satunya--biasanya manusia--menyadari bahwa dia telah berinteraksi dengan warga dunia yang lain itu. Dengan kemampuan tersebut sikerei bisa berperan sebagai mediator yang menjaga harmoni hubungan kedua mahluk ini," kata Imran.
Kehidupan orang asli Mentawai tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan terhadap roh atau alam gaib. Setiap benda diyakini memiliki roh dan jiwa, mulai dari rumah, pohon, batu, sungai, sampan, sehingga harus diperlakukan seperti manusia. Hubungan dengan semua roh harus dijaga dengan baik, atau roh akan marah jika tidak diperlakukan dengan baik.
Agar harmoni tercipta, salah satu caranya adalah dengan bantuan sikerei yang menguasai bahasa mereka. Mereka harus dihibur, diberi makan, dihormati, kalau manusia tidak ingin sakit, mengalami musibah atau bahkan mati, sebab roh dan jiwa yang tidak diperhatikan dengan baik bisa marah, bisa sedih, bisa cemburu, dan bentuk-bentuk emosional lainnya.
Ketika seseorang sakit, berburu, mencari kayu bakar, berternak, membangun rumah, menangkap ikan, menikah, membuat sampan, membuka ladang, dan berbagai aktivitas lainnya, dia akan meminta bantuan sikerei, untuk mengetahui keinginan jiwa dan roh yang berhubungan dengan kegiatannya itu, agar tidak menimbulkan kemarahan atau kesedihan.
Sikerei akan membantu dengan menanyakan, meminta keikhlasan, menyampaikan permintaan, menghibur jiwa-jiwa dan roh itu agar manusia bisa melaksanakan aktivitasnya dengan aman dan selamat, tanpa gangguan.
Namun seiring dengan derasnya kemajuan teknologi yang sudah mencapai pedalaman Mentawai dan terjadinya interaksi langsung masyarakat dengan orang luar, peran sikerei pun semakin menyusut tajam.
Semakin banyaknya rombongan turis asing maupun domestik yang bertandang untuk menyaksikan langsung kehidupan masyarakat pedalaman, membuat setiap pria dewasa merasa bisa menjadi sikerei, cukup berbekal tatto di sekujur tubuh dan ketrampilan menampilkan berbagai tarian.
"Inilah dampak komersialisme dari wisata budaya ke pedalaman Mentawai. Sekarang setiap warga di pedalaman sudah mengenal uang dan tidak ada yang gratis lagi. Wisatawan yang mengambil foto mereka akan dimintai uang," kata Ismael, pemandu yang juga pegawai honor di Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Meski peran sikerei semakin memudar, Dinas Kesehatan setempat tampaknya tetap menjadikannya sebagai ikon dalam slogan Pencanangan Kesehatan Mentawai dan 7 Pesan Sikerei Untuk Sehatkan Nusantara pada 2016 lalu. Salah satu dari tujuh pesan sikerei tersebut adalah "Stop Buang Air Besar Sembarangan", "Enyahkan Asap Rokok dan Kasus Gizi Buruk".
Tapi slogan tersebut cukup kontradiktif dengan fakta keseharian yang terjadi di lapangan karena mulut sikerei justru hampir tidak pernah lepas dari rokok dan rumah mereka tidak ada yang dilengkapi kakus atau kamar mandi.
(A032/S027)
Oleh Atman Ahdiat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017