Denpasar (ANTARA News) - Bali sebagai daerah tujuan wisata perlu membentuk tim pemantau yang terdiri atas instansi terkait, tokoh agama dan adat untuk mengawasi gerak-gerik wisatawan yang melanggar hukum, norma adat dan agama, termasuk perilaku menyimpang paedofilia. "Tim pemantau itu bukan untuk menakut-nakuti pelancong, namun sebaliknya mengamankan masyarakat dan anak-anak setempat dari perbuatan wisatawan yang sangat tercela," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Drs I Gusti Ngurah Sudiana di Denpasar, Sabtu. Ketika diminta komentarnya terhadap pelaku HFW (58), seorang warga negara Jerman yang terlibat kasus paedofilia dengan korban lima bocah di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan, ia menilai, tim pemantau yang terdiri Imigrasi, kepolisian, bendesa adat dinilai sangat mendesak untuk dibentuk. Ia mengatakan, pembentukan tim pemantau wisatawan itu diperioritaskan di kawasan-kawasan wisata, dengan harapan wisatawan dalam berliburan di Bali dapat mematuhi ketentuan hukum, maupun norma adat dan agama di wilayah ini. "Jika wisatawan dalam menikmati liburan tidak dipantau, dengan berbagai alasan dan kepura-puraan untuk membantu material atau mengajar bahasa Inggris, dikhawatirkan kasus serupa kembali terjadi pada masa-masa mendatang," ujar Sudiana. HFW, warga negara Jerman terlibat dalam kasus paedofilia dengan korban sembilan bocah yang terdiri atas tujuh orang murid yang duduk di Sekolah Dasar (SD) dan dua korban pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pelaku yang ditangkap jajaran Polsek Denpasar Selatan dan kasusnya dilimpahkan ke Poltabes Denpasar, terbongkar ketika salah seorang korban tidak mengikuti jadual les di sekolahnya, karena diajak jalan-jalan oleh pelaku. Guru yang merasa curiga terhadap anak didiknya yang diajak jalan-jalan itu, kemudian memanggil seluruh murid lainnya yang pernah bolos dengan alasan yang sama. Kebejatan HFW akhirnya terkuak dan ditangkap di rumahnya di kawasan Gianyar. Pihak Polda Bali pernah mensinyalir yayasan dan LSM asing yang beroperasi dengan memberikan bantuan kepada anak-anak miskin di Bali, telah melakukan penyimpangan dengan memasarkan anak-anak di bawah umur untuk memenuhi nafsu seksual para pedofil di mancanegara. Hal itu terbukti para pedofil yang umumnya berkedok sebagai pelancong yang berhasil ditangkap setelah "menikmati" anak-anak ingusan berasal dari berbagai negara antara lain Jerman, Perancis, Amerika dan Australia. Tertangkapnya para pelaku yang memiliki kelainan seksual dari berbagai negara, yang beberapa tahun sebelumnya hanya didominasi warga negara Australia itu menunjukkan, mereka mempunyai jaringan pemasaran internasional. Yayasan atau LSM asing yang memfoto anak-anak binaannya yang berusia 5-13 tahun saat mandi perlu dicurigai, karena tidak tertutup kemungkinan foto tersebut dijadikan sarana pemasaran lewat internet. Berdasarkan catatan tidak kurang dari 200 anak usia antara lima sampai 13 tahun di Bali, telah menjadi korban nafsu seksual para pedofil yang umumnya berkedok pelancong dari sejumlah negara. Anak-anak "ingusan", terjebak dalam keganasan si "bule" yang memiliki kelainan seksual tersebut, setelah terlebih dahulu mereka dibujuk rayu bahkan diiming-imingi uang dan hadiah lainnya.Gangguan Jiwa Prof dr Suryani, gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud) yang juga pentolan Committee Against Sexual Abuse/CASA, dalam kesempatan terpisah menyatakan, semua pihak harus "perang" terhadap pelaku seksual yang dapat menghancurkan masa depan anak-anak itu. Tidak sedikit korban yang mengalami aksi paedofilia kemudian mengalami depresi berat. Sebagai contoh delapan anak korban aksi pedofil asal Italia, yang sempat direhabitasi pihaknya, rata-rata mengalami gangguan jiwa cukup berat. "Mereka sering berteriak-teriak ketakutan tanpa sebab-sebab yang jelas. Ini akibat `racun` paedofilia yang telah merasuk pada jiwa mereka," ucapnya. Pedofil yang berhasil diringkus petugas, adalah Mario Mannara (57), turis asal Roma, Italia yang dijatuhi hukuman empat bulan penjara, menyusul William Stuart Brown alias Tony (52), mantan diplomat Australia untuk Indonesia, yang vonis 13 tahun penjara, namun tewas akibat gantung diri, sehari setelah majelis hakim memvonisnya, 17 Mei 2004.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007