Bandarlampung (ANTARA News)- Kerjasama militer Indonesia dan Singapura sebenarnya telah berlangsung lebih dari 26 tahun, dan latihan militer bersama yang dikenal dengan sebutan "Latma Indopura" (Latihan Bersama Indonesia-Singapura), terus berlangsung hingga sekarang. Pada Juli 2006 lalu, Angkatan Udara Indonesia (TNI AU) dan Angkatan Udara Singapura (RSAF) menggelar Gladi Pos Komando di Paya Lebar Air Base (Singapura), sedang manuver lapangannya dilaksanakan di Lanud Iswahjudi Madiun. Hasil yang diharapkan melalui latihan sekali dalam dua tahun itu adalah peningkatan dukungan sistem komunikasi dan logistik ke daerah operasi, serta peningkatan penguasaan "Fighter/Strike Operation, Tactical Trasnport Operation, and Helicopter Operation". Kerjasama militer Angkatan Udara yang bernama Latihan Elang Indopura, terjalin sejak 19 Juni 1980, dan pemimpin militer kedua negara mengakui latihan itu penting, untuk meningkatkan kemampuan personil militernya dalam melaksanakan operasi terkoordinasi. Angkatan laut dan Angkatan Darat kedua negara juga menggelar latihan bersama dalam kerangka Indopura, seperti Latihan Camar Indopura ke-13 di Pontianak dan Latihan Safkar (SAF dan Kartika) Indopura tahun 2006 yang dilaksanakan di Jawa Tengah. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia, mulai tahun 1995-2003, telah memberikan akses yang lebih besar kepada Singapura untuk berlatih di wilayah Indonesia. Dua lokasi MTA yang diberikan pemerintah Indonesia itu adalah di Tanjung Pinang dan di Laut Cina Selatan. Namun pemberian area latihan militer itu (Military Area Training- MTA) itu dihentikan oleh pemerintah Indonesia tahun 2003 karena Singapura ditengarai telah melanggar kedaulatan Indonesia melalui MTA, termasuk dengan melibatkan AS dan Australia dalam setiap latihan di wilayah Indonesia. Kerjasama kedua negara dalam pembangunan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Batujajar di Sumsel juga terkendala, terutama dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas di Puslatpur tersebut. Lahan seluas 43 ribu Ha itu merupakan lahan latihan tempur terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Puslatpur itu kini berdekatan dengan permukiman penduduk, bahkan ada yang ditempati penduduk, sehingga dikhawatirkan mengancam keselamatan penduduk maupun Puslatpur itu sendiri. Menurut mantan Kasum TNI, Suaidi Marasabessy, ketika dirinya masih menjabat Kepala Staf Umum TNI, persoalan kerjasama militer antara Indonesia dan Singapura memang sudah muncul, terutama dalam penggunaan tempat latihan udara di Pekanbaru dan Puslatpur Batujajar Sumsel. Biaya pembangunan tempat latihan itu memang lebih banyak dari Singapura, namun biaya pemeliharaannya yang justru lebih besar, berasal dari pemerintah Indonesia. Namun dalam pemanfaatannya, Singapura justru yang lebih banyak menggunakan tempat latihan itu karena memiliki anggaran militer yang lebih besar. Karena itu, berkembang usulan untuk merevisi kerjasama militer itu, agar kedua negara memiliki keuntungan yang sama dalam kerjasama pertahanan tersebut. Setelah melalui perundingan yang sangat alot, sebagaimana disebutkan Menhan Juwono Sudarsono, Indonesia dan Singapura kini memiliki perjanjian pertahanan yang berlaku untuk 25 tahun, yang merupakan kelanjutan MTA yang dihentikan Indonesia tahun 2003 lalu. Perjanjian kerjasama bertajuk "Defence Cooperation Agreement-DCA" itu dapat ditinjau setelah 13 tahun, kemudian setiap 6 tahun. Penandatanganan perjanjian itu dilaksanakan berbarengan dengan penandatanganan kerjasama ekstradisi oleh kedua negara di Bali, Jumat (27/4), dengan disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Kerjasama pertahanan kedua negara itu dimaksudkan untuk menjaga kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan. Terkait itu, Indonesia akan memberikan fasilitas wilayah udara dan laut tertentu dalam yuridiksi Indonesia untuk tempat latihan bagi Singapura. Respon atas kerjasama itu di Indonesia, terutama atas poin yang mengizinkan Singapura berlatih dengan pihak ketiga setelah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia, beraneka ragam. Ada yang menyebutkan kerjasama itu melanggar kedaulatan Indonesia, sementara yang lainnya menyatakan tidak melanggarnya. Dengan perkembangan teknologi satelit dan militer yang makin canggih, maka tidak ada lagi wilayah Indonesia yang tertutup. Manfaat kerjasama itu yang harus dilihat, apakah menguntungkan atau tidak. Menurut Suaidi, kompesansi yang diperoleh Indonesia dalam kerjasama pertahanan RI-Singapura cukup moderat dan lebih menguntungkan dibandingkan kerjasama militer kedua negara di masa sebelumnya. Hal senada juga disebutkan mantan Kas Kostrad, Kivlan Zen. Tidak ada hal baru yang substansial dalam kerjasama itu, namun kompensasi yang diperoleh Indonesia perlu diatur lebih tegas dalam perjanjian tersebut. Baik Suaidi, Kivlan Zen, atau Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto menyatakan bahwa kerjasama pertahanan itu bermanfaat bagi perkembangan militer Indonesia, terutama dalam memanfaatkan akses ke teknologi militer Singapura yang 30 tahun lebih maju daripada Indonesia. Karenanya, kerjasama itu tidak perlu dibawa lebih dalam ke wilayah politik. Keamanan Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kerjasama pertahanan itu juga bermanfaat untuk memelihara stabilitas keamanan di kawasan ASEAN. Sementara PM Singapura, Lee Hsien Loong, menyebutkan kerjasama pertahanan itu akan memudahkan kekuatan militer kedua negara untuk bekerjasama mengatasi masalah bencana alam maupun untuk menangkal setiap ancaman. ASEAN adalah bukan pakta pertahanan, namun di antara negara anggota ASEAN itu terdapat kerjasama bilateral di bidang pertahanan. Kerjasama itu umumnya di bidang latihan bersama, pengumpulan informasi intelijen, memperkuat kontak militer untuk transparansi dan menghilangkan kecurigaan, atau melawan musuh bersama di perbatasan atau perairan, seperti penyelundupan, pembajakan, dan "drug trafficking". Kerjasama bilateral itu mencakup latihan bersama Thailand dan Singapura di Filipina, kerjasama bilateral Malaysia- Filippina, Malaysia- Singapura, Indonesia- Thailand, Malaysia-Thailand, Indonesia- Malaysia, dan terakhir adalah patroli terkoordinasi di Selat Malaka yang melibatkan Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebagaimana disebutkan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Thailand telah menyatakan kesediaannya untuk melibatkan diri dalam upaya pengamanan kawasan Selat Malaka, meski masih harus dirundingkan lagi oleh Indonesia-Singapura-Malaysia. Jika Thailand akhirnya terlibat, maka negara itu akan mengamankan di sektor Utara, yakni di perbatasan Indonesia-Malaysia-Thailand. Menurut Kivlan Zen, meski menguntungkan, kewaspadaan atas kerjasama pertahanan dengan Singapura itu tidak boleh lengah, dan tempat latihanya tidak boleh berpindah-pindah, dan harus di area yang telah ditetapkan. Kekhawatiran atas dampak kerjasama itu dari berbagai kalangan di dalam negeri memang bisa dimengerti, karena Singapura memiliki teknologi militer yang maju, sementara butir-butir perjanjian pertahanan itu belum dibuka ke publik secara jelas. Negara itu juga memiliki hubungan militer yang erat dengan AS dan Israel, dua negara yang memiliki teknologi militer yang paling maju di dunia. Setelah AS keluar dari pangkalannya di Filipina, Singapura-AS menandatangani kesepakatan yang memungkinkan armada dan pesawat AS menggunakan fasilitas militer di Singapura untuk perbaikan, pengisian logistik dan pengisian bahan bakar. Singapura juga bisa menggunakan fasilitas militernya di Australia, Israel, Thailand, Taiwan, Brunei, dan AS. Stabilitas keamanan di Indonesia dan Singapura memang sangat berpengaruh atas keamanan kawasan regional ASEAN. Indonesia adalah negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, sehingga pengaruhnya sangat dominan untuk kawasan ASEAN. Sementara Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, namun anggaran militernya adalah yang terbesar di antara negara-negara ASEAN, dan teknologi militernya adalah yang termaju. Singapura sejak tahun 1970 telah mengalokasikan rata-rata 6 persen dari GDP-nya untuk pengeluaran pertahanan. Untuk tahun 1998 saja, belanja militernya nauk dari 6,1 miliar dolar Singapura menjadi 7,3 miliar dolar Singapura, dan negara itu memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern. Sedang Filipina, anggaran pertahanannya justru turun dari 1,5 miliar dolar AS tahun 1996 menjadi 1,2 miliar dolar AS tahun 1998. Anggaran militer Thailand turun dari 3,2 miliar dolar AS (1997) menjadi 1,8 miliar dolar AS (1999). Malaysia tahun 1998 turun dari 3,4 miliar dolar AS menjadi 2,1 miliar dolar AS, meski negara itu telah melakukan pembaharuan pertahanannya. Malaysia kini memiliki hampir 95 pesawat tempur modern, termasuk MIG-29 dan F/A 18D Hornet. Anggaran pertahanan Indonesia turun dari 4,8 miliar dolar AS menjadi 1,7 miliar dolar AS tahun 1998, dan hampir 60 persen anggaran itu untuk memenuhi kebutuhan personilnya. Kerjasama pertahanan untuk masa 25 tahun itu telah "mengikat Singapura", serta mempertahankan kedaulatan Indonesia, sebagaimana disebutkan Menhan Juwono Sudarsono dan hendaknya tidak ditarik lebih dalam ke wilayah politik karena berbagai kalangan militer maupun purnawirawan TNI melihatnya menguntungkan bagi Indonesia untuk memajukan kemampuan militernya.(*)
Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007