Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, baru-baru ini menandatangani kerjasama dengan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo untuk membuka program pendidikan vokasi diploma IV hukum pencatatan sipil.

"Semua birokrat di bidang ini masih parsial karena belajar dari lapangan, tetapi yang memiliki kemampuan teoritik, kemampuan yuridis, serta manajerial dukcapil secara khusus belum ada," kata Zudan.

Langkah ini tepat, karena sampai hari ini belum ada tenaga ahli di birokrasi bidang kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) yang memiliki basis ilmu pencatatan sipil.

Sejarah dan Implikasinya
Sejarah pencatatan sipil di Indonesia saat ini, berawal dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang ketika itu membagi masyarakat atas dasar etnisitas yang diatur dalam Regering Reglement (RR) jo Indische Staatregeling (Stb. 1855-2 jo 1925-415 jo 1925-447) Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb. 1910-126) – yang intinya mengelompokkan warga masyarakat Hindia-Belanda dalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Bagi kelompok-kelompok ini berlaku aturan hukum yang berbeda.

Ketika politik dunia khususnya di Asia mulai berkembang gerakan “Nasionalisme” – Boedi Oetomo, Sun Yat Sen, dan sebagainya, – maka pemerintah Hindia-Belanda dalam upaya agar pihak “asing” tidak mencampuri “urusan” dalam negeri dengan tetap menghormati kewarganegaraan dari penduduk Hindia-Belanda, merumuskan dengan apa yang disebut Kekaulaan Belanda atau Nederlandsche Onderdaanschap van niet Nederlanders (1910), intinya adalah mengelompokkan penduduk menjadi Kekaulaan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.

Sebagai konsekuensi logis dari sistem konkordansi terhadap peraturan dengan Negeri Belanda dan pembagian kekaulaan Hindia-Belanda tersebut, maka ketentuan pencatatan kelahiran dibedakan antara orang Belanda, Timur Asing, dan Bumiputera. Dan mulai tahun 1933 Pemerintah Hindia-Belanda menambah pembedaan dari aspek agama, sehingga pengaturan pencatatan kelahiran (birth registration) membedakan warga masyarakat atas dasar etnik dan agama.

Sebagai contoh, etnik warga Negara Indonesia (WNI) “asli” Non Kristen (bukan untuk mendikotomi asli dan keturunan) yang perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA) akan dicatat dengan Staatsblad 1920-751 jo 1927-564. Sementara WNI “asli” Kristen yang perkawinannya di kantor Catatan Sipil,akan dicatat dengan Staatsblad 1933-75 jo 1936-607.

Dari contoh ini, sekalipun sesama WNI “asli” tetapi karena berbeda agama, maka apabila terjadi perceraian, berbeda pula pengadilan yang akan memutuskan, yaitu Pengadilan Agama (PA) bagi yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama Kristen.

Mengenai masalah hukum waris yang akan diterapkan, dimungkinkan berbeda pula terhadap anak yang bersangkutan. Salah satu kemungkinan dapat mengikuti Waris Perdata Barat, karena dianggap menundukkan diri pada hukum perdata – Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) pasal 3 dan Indonesische Staatsregeling (ISR) pasal 4.

Kualitas Pelayanan
Berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 tahun 1983, pelayanan pencatatan sipil beralih dari Departemen Kehakiman ke Departemen Dalam Negeri. Oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), pelatihan bagi petugas catatan sipil baru dilakukan tahun 1989 melalui surat edaran Mendagri Nomor 893.3/1558/PUOD tanggal 17 April 1989, dan kantor catatan sipil mulai saat itu terbuka untuk umum.

Mengingat masih barunya bidang pencatatan sipil di kemdagri, maka banyak permasalahan terjadi dalam bidang ini, seperti: belum semua kabupaten/kota memiliki kantor catatan sipil, kemampuan sumber daya manusia praktis masih sangat rendah, dan mentalitas aparat belum memahami substansi dokumen pencatatan sipil maupun sebagai pelayan rakyat. Akibatnya, pelaksana di lapangan tidak nyambung dengan kebijakan yang diambil pusat, dan bahkan pungutan liar masih terjadi dimana-mana.

Institut Kewarganegaraan Indonesia memperkirakan, lebih dari 120 juta penduduk belum memiliki akta kelahiran (sampai hari ini Ditjen Dukcapil belum berani mengungkap jumlah kemilikan akta kalahiran dari hasil Sistem Informasi Administrasi Kependudukan/SIAK).

Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No 18/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa, "Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya, serta tidak terlindungi keberadaannya".

Dibukanya program studi diploma IV hukum bidang pencatatan sipil ini diharapkan menjadi landasan untuk menciptakan sistem pelayanan administrasi dukcapil yang professional bagi aparatur, dan berkeadilan bagi masyarakat, mampu menjawab perkembangan global yang menuntut kecepatan dan inovasi baru bagi aparatur dukcapil dalam memenuhi tuntutan masyarakat dalam perkembangan global kedukcapilan, misalnya mobilitas masyarakat dari dan ke luar negeri yang sangat tinggi memerlukan pelayanan cepat tetapi cermat, dan validitas dokumen dukcapil yang memerlukan dukungan teknologi dan pemahaman tentang keabsahan dokumen.

Satu hal yang harus dicapai dalam pendidikan ini adalah harus mampu memenuhi kebutuhan aparatur di dinas dukcapil Kab/Kota di Indonesia. Selain itu, lulusan pendidikan ini harus mampu melaksanakan pekerjaan yang kompleks dengan dasar kemampuan professional, termasuk kemampuan merencanakan dan melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah, serta mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi.

*) Peneliti Senior Institut Kewarganegaraan Indonesia tinggal di Jakarta


Oleh Prasetyadji*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017