Apakah mereka masih bersama-sama seperti dulu, kesibukan apa yang kini mereka geluti dan apa pandangan mereka soal tahun 90-an dan sekarang?
Berikut petikan wawancara keduanya saat ANTARA News temui di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan belum lama ini.
T : Sekarang sibuk apa, proyek berdua dan masing-masing?
Edwin:
Saya buka Edwin's Kupi, kedai ada di Cinere, Gading, sebentar lagi buka di Lebak Bulus. Saya juga lagi mengembangkan martabak manis. Martabak Edwin Untuk Rasa Oke (Uro). Uro itu nama anak saya yang keempat.
Syuting sinetron di ANTV, tayangnya setiap hari Senin sampai Jumat. Ini kendalanya kalau syuting stripping, kegiatan MC nya harus dibatasi.
Ada komik Edwin-Jhody di Play Store. Tinggal buka Ciayo Komik, ada Slice of Life Edwin Jhody. Setiap minggu update, seminggu satu cerita. Itu komik karya anak bangsa. Ceritanya simpel, hanya empat sampai lima kotak, sketsa pendek Edwin-Jhody.
Yang gambar bukan gue. Kalau gue yang gambar enggak jadi MC, jadi komikus. Tetapi ceritanya kita buat bareng-bareng. Sama jargon. Ada penulisnya sendiri. Itu sudah hampir dua bulan.
Kami ada acara komunitas motor. Saya sama Jhody bikin acara, namanya “Edwin Jhody Ahoy”. Kita jalan naik motor ke komunitas-komunitas motor. Nyamperin event-event motor, mobil, restoran-restoran.
Jhody:
(Komiknya) cukup menghiburlah. Ada di fanpage-nya di Facebook, Socmed- nya lengkap lah. Followernya sudah hampir 10 ribu, dalam kurun waktu belum tiga bulan.
T: Memang direncanakan sejak awal bersama-sama, entah itu memandu acara atau lainnya?
Jhody:
Seiring berjalannya waktu, ketemulah jalan, kita berdua lagi. Sebelumnya, ada sinetron yang barengan, tetapi belum terlaksana. Peran utama kita berdua. Enggak ngerti kenapa diijabah sama Allah, kok bisa berbarengan berdua. Komik, acara televisi, sinetron juga.
Ketemu orang komik di daerah Mangga Dua, awalnya bukan mau ngomongin komik, mau main ke kantor teman. Kantornya sudah berkembang membuat komik.
T: Sehari-hari di luar nge-MC, memang tipikal yang humoris kah?
Edwin:
Sehari-hari tergantung lokasi, di mana kita berada kita menempatkan diri sebaik mungkin. Kalau di musola enggak mungkin gokil-gokilan. Biasanya kalau di tempat acara biar enggak suntuk. Kalau di rumah harus menghadapi anak, isteri ya tergantung situasi. Kita membuat orang lain merasa nyaman.
Jhody:
Pastinya enggak lah ya, karena ada anak-anak. Terus kalau di lingkungan enggak terlalu (humoris). Kalau dilihat pasar, dari awal muncul seperti itu. Walaupun akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun mendarah daging juga. Kadang-kadang klalau di rumah kelepasan.
T: Terkenal dengan banyolan saat pandu acara, biasanya dari mana ide banyolannya?
Edwin:
Ide ngebanyol itu adalah keseharian dari sekitar kita saja. Jangan jauh-jauh. Kalau Edwin jauh-jauh, orang di sekitar saya enggak mengerti. Tetapi kalau ada di sekitar dia juga, sebagai bahan joke kita, akhirnya mereka nyambung. Seperti berbagi, kasih yang dekat dulu baru yang jauh.
Jhody:
Spontanitas. Lebih ke improvisasi apa yang ada di depan. Kalau kata orang nge-bully , tetapi bagaimana nge-bully dia tetapi enggak bikin dia tersinggung. Itu yang paling penting. Dan dia merasa 'Oh ini teman gue'. Walau kita mendapatkan 'Kartu hijau' dari masyarakat kalau kita sudah begitu, ngapain diladenin serius.
Yang paling penting lagi sampai hari ini kami tidak pernah membuat orang sampai sakit hati. Semuanya fine-fine saja. Kita menghibur. Tetapi jangan kebablasan. Jangan sampai kelewat batas. Terus akhirya seperti yang dialami lain-lainnya, mencoba melucu akhirnya menyinggung beberapa orang. Apalagi sekarang zamannya socmed yang sekali klik bisa dhuarr! meledak dalam hitungan detik.
Kami sudah 26 tahun. Masak gara-gara sesuatu jadi hancur. Duh enggak deh. Amit-amit.
T: 26 tahun bekerja bersama, apa sih resepnya bisa awet pertemannya sampai sekarang?
Edwin:
Kamia menjaga perbedaan, karena enggak pernah orang sama. Karena ada perbedaan, saling menjaga sehingga kita bisa langgeng. Kami tidak ada rasa untuk saling menjatuhkan. Kami sudah 26 tahun berdua. Kami ada karena perbedaan. Dia (Jhody) menjadi dirinya sendiri. Edwin jadi diri sendiri.
Jhody:
Edwin ini bagi Jhody adalah teman dan bisnis. Bukan berbisnis dan berteman. Jadi didahulukan berteman. Pasti ada perbedaan. Hargai perbedaan itu. Support perbedaan itu. Jangan menjadi sebuah halangan. Kita tidak akan bisa sama. Di rumah saja begitu, gue mau begini, anak gue maunya begitu, hargai saja selagi tidak melewati pagar. Ya silakan saja.
T: Dari sisi karakter, kalian tipikal yang sama?
Edwin:
Kami berbeda jauh. Benar orang bilang lain luar lain dalamnya. Kalau Edwin, lain penampilannya, ternyata hatinya lebih brutal dari Jhody. Sementara Jhody, penampilannya lebih brutal, ternyata hatinya Rinto. Jadi memang seperti itu, saling melengkapi. Dia orangnya sensi, gue cuek. Ya saling pengertianlah. Kami selalu komunikasi. Ada masalah ngomong. Terima enggak terima.
T: Sering berantem?
Edwin:
Berantem sering banget, ya ngambek-ngambek. Dia ngambek gue cuek.
Jhody:
Paling top dua hari. Dulu-duluan, siapa yang SMS, siapa yang telepon, duluan. Kadang-kadang dia dluan, kadang saya duluan.
T: Sudah memandu berbagai acara musik sejak tahun 90-an, apa yang paling kentara perbedaan antara peniknat musik era itu dan sekarang?
Edwin:
Audiens tahun 90 lebih asik. Dulu itu saya sudah mulai nge-MC di acara anak muda di radio dan televisi. Yang jelas, responnya anak dulu itu, luar biasa. Ada kesatuan antara penonton dengan penampil.
Mungkin dengan perkembangan zaman, adanya teknologi digital, zaman dulu video saya enggak disimpan di YouTube, Google, karena pakai kaset, enggak pakai memory card. Sekarang semua orang menonton di YouTube.
Kalau dulu semua orang harus melihat langsung. Kalau sekarang, orang hanya tinggal melihat handphone, kayaknya paling tahu. Mereka hanya mengalami sendiri. Mungkin dengan acara musik tahun 90-an ini, ya inilah melihat langsung, merasakan, jadi ada feel-nya.
Orang-orang dulu nongkrong, datang ke Melawai, Blok M. Murni dari hati mereka ingin datang, indah. Mereka merasakan yang lalu dan merasakan yang sekarang.
Jhody:
Audiens nya, sebenarnya sama saja sama yang anak gue alamin sekarang sama yang di luar. Excited-nya mungkin sama. Ngototnya mungkin sama. Energinya mungkin sama. Perbedaanya kalau dulu dan sekarang adalah ya soal selera saja. Misalnya dulu ada drumnya yang pakai perkusi. Kupingnya orang dulu kita tahu , akustiknya tahu banget.
Kalau sekarang, sudah canggih teknologinya hampir disamarin. Secara feel kita tahu asli apa enggak.
Yang sekarang lebih instan, dulu lebih detil. Namanya instan kalau enggak dimaintain dengan bagus, hilang.
Sekarang panggung banyak banget, jadi kepecah audien. Dulu kan kita nungguuin banget misal ada Metallica, euforia-nya kita bikin deh. Kalau sekarang, satu contoh beli tiket. Dulu dari Subuh harus sudah mengantri, sekarang sudah ada pre-sale.
T: Soal Super Bejo, sekarang bagaimana?
Edwin:
Saya ini kan sama Jhody kan awalnya hanya Edwin-Jhody. Super Bhejo hanya melengkapi, kita sebagai penghibur saja. Selain nge-MC kita akting, kita komedian, juga bisa nge-band. Melengkapi kita ini penghibur. Sekarang masih eksis. Lebih seneng kita nge-mc.
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017