Para kriminal memanfaatkan penafsiran yang salah (tentang Islam) yang sama sekali tak ada kaitannya dengan agama atau kitab suci kita

Jakarta (ANTARA News) - Para ulama dan tokoh lintas agama dari sekitar 50 negara di Timur Tengah dan sekitarnya, termasuk Imam Besar Al-Azhar Mesir Dr Ahmad Al Tayeb, mendesak pemerintah dan masyarakat kawasan ini, serta dunia Islam, untuk berbuat lebih banyak lagi dalam menciptakan "budaya koeksistensi" antarumat beragama. Sebaliknya mencegah kaum ekstremis mengeksploitasi pengabaian dan ketidakpahaman beragama.

Selasa pekan ini para pemimpin dan delegasi dari 50 negara berkumpul di Kairo, Mesir, guna menghadiri sebuah konferensi bertajuk "Kebebasan dan Kewarganegaraan: Keberagaman dan Integrasi" yang disponsori oleh Al Azhar, Mesir.

Ahmad Al Tayeb menegaskan Timur Tengah saat ini mengalami masa di mana ekstremis-ekstremis membelokkan agama untuk tujuan politik mereka sendiri dan meniup bara konflik.

"Kita menyaksikan banyak masalah di kawasan ini, seperti perang tanpa alasan yang logis. Adalah menyakitkan melihat agama dipandang ada di balik perang ini. Kita melihat banyak orang yang kehilangan nyawanya," kata Ahmad Al Tayeb.

"Gambarannya semakin suram. Para kriminal memanfaatkan penafsiran yang salah (tentang Islam) yang sama sekali tak ada kaitannya dengan agama atau kitab suci kita...semua masalah ini tak ada kaitannya dengan Islam, tetapi Islam telah diperalat untuk menumpahkan darah," kata ulama besar Mesir itu.

Shaikh Tayeb menyatakan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok ekstremis telah membuat dunia salah memandang Islam.

"Ruh dan jiwa sirna, dan terciptalah lautan darah. Saat ini hal ini membuat banyak orang beralih melawan agama kita. Islamofobia telah menciptakan dampak yang sangat serius terhadap warga muslim di seluruh dunia. Kita perlu membebaskan manusia sedunia untuk mendapatkan penawar untuk penyakit ini," sambung dia.

Sementara itu Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengajak umat Islam meneladani dan bercermin kepada toleransi Islam saat muslim menguasai Andalusia atau Spanyol sekarang, berabad-abad silam, di mana umat Islam dan Kristen hidup damai berdampingan.

"Era Andalusia meneladankan tingkat toleransi yang optimal. Tak ada bandingannya, pengalaman yang menakjubkan. Tetapi kini kita hidup di era fanatisme. Ini adalah fenomena yang tengah terjadi yang sangat disayangkan dan menyedihkan," kata Aboul Gheit dalam laman Khaleej Times, Dubai, Emirat Arab.

Dia melanjutkan, "masa depan Dunia Arab, akan sangat tergantung kepada apakah wilayah ini sedia merangkul berbagai budaya dan agama serta mengantarkannya ke 'era pluralisme'. Saya yakin sekali Timur Tengah akan besar karena keberagaman, atau mengering dan bahkan mati jika kita kehilangan itu."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017