Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di hadapan peserta konferensi internasional yang digelar Al-Azhar di Kairo, Mesir, Kamis, memaparkan kerukunan umat di Indonesia meskipun berbeda agama dan berlatar belakang budaya yang beragam.
Dikatakannya, kehidupan yang rukun itu telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kalaupun belakangan ini ada kelompok garis keras bahkan terlibat terorisme berbau agama, hal itu terjadi karena pengaruh dari luar Indonesia.
"Saya sampaikan bahwa radikalisme di Indonesia itu impor, terutama dari Timur Tengah, dan para peserta seminar membenarkannya, tidak ada yang membantah," ujar Said Aqil dikutip dalam siaran pers.
Pernyataan itu kembali diulang Said Aqil ketika bertemu Grand Sheikh Al-Azhar Prof Dr Ahmad Mohamed Al-Tayeb di sela-sela Konferensi Internasional Kebebasan, Kewarganegaraan, Keragaman, dan Persatuan itu.
Indonesia adalah negara multietnis, multiagama, dan multibahasa dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa. Umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas mampu menaungi keragamaan yang ada dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
"Ini adalah kesyukuran yang sangat mendalam karena keragaman yang ada tidak menjadi kendala untuk bernegara dalam sistem demokrasi yang disepakati oleh semua komponen bangsa," katanya.
Hanya, lanjut dia, Indonesia saat ini mendapat tantangan yang cukup besar, khususnya dengan maraknya kelompok-kelompok Islam yang beraliran liberal dan radikal.
Dua kelompok ini disebutnya terus berupaya untuk menyudutkan penganut ahlussunnah wal jamaah yang moderat dan berusaha membawa mayoritas umat Islam kepada radikalisme dan liberalisme.
"Untuk itu, Nahdlatul Ulama sebagai salah satu benteng ahlussunah waljamaah terbesar di Indonesia selalu berupaya untuk merangkul semua kelompok agar kembali kepada Islam yang penuh rahmat, Islam yang penuh kasih sayang," katanya.
Grand Sheikh Al-Azhar menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama dan Al-Azhar memiliki misi yang sama, dan saat ini Al-Azhar sebagaimana Nahdlatul Ulama juga mendapat tantangan yang memerlukan kerja keras untuk menghadapinya.
Menurut dia, Al-Azhar bisa bertahan hingga seribu tahun lebih antara lain karena senantiasa merangkul semua golongan, berusaha menjadi penengah setiap konflik antargolongan, dan menempatkan risalah Islam yang moderat dan toleran.
Posisi itu, kata dia, tidak jarang disalahpahami oleh kelompok-kelompok yang tidak punya iktikad baik terhadap persatuan Islam. Tidak jarang kebijakan yang dikeluarkan oleh Al-Azhar ditentang oleh kelompok-kelompok Islam yang tak sependapat.
"Kelompok yang keras menuduh Al-Azhar liberal, sementara kelompok liberal menuduh Al-Azhar radikal. Tetapi itulah risiko posisi di tengah, moderat, banyak yang ingin menarik ke kiri atau ke kanan," katanya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017