"Parung Simardagul-dagul Sahali Mamarung Gok Bahul-bahul Gok Ampang", sebuah mantra yang selalu dipanjatkan oleh petani kemenyan di desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, sebelum mereka menyadap pohon kemenyan (Styrax paralleloneurus) yang merupakan tanaman asli dari tanah mereka.
"Semoga sekali memanen hasilnya penuh," begitulah kira-kira pengharapan mereka.
Bagi siapa saja yang berada di dalam hutan kemenyan mendengar doa tersebut, mereka harus menjawab "Emmada Tutu", yang maksudnya mengaminkan doa tersebut.
Sebelum menyadap pohon kemenyan, terlebih dulu petani akan membersihkan rumput liar yang tumbuh disekitar pohon, kemudian mereka akan mencungkil kulit pohon hingga berbentuk lubang, di lubang itulah getah kemenyan berkumpul, setelah itu mereka juga membersihkan kulit tua pohon, mengerjakannya pun harus dalam keadaan tenang, tidak boleh berisik.
Setelah disadap, getah kemenyan baru dapat dipanen sekitar tiga bulan ke depan.
Selain memanjatkan doa, mereka juga membawa sajian berupa lepat yang dibentuk seperti bongkahan batu yang besar dan juga "itak gur-gur" yang diremat. Keduanya berbahan dasar sama yaitu tepung beras merah ditambah gula merah hanya saja itak gur-gur tidak dikukus seperti lepat.
Setelah selesai berdoa, sajian itu boleh dimakan oleh petani yang tinggal di pondok di sekitar pohon kemenyan. Satu pondok hanya dihuni oleh satu petani.
Salah satu petani dari desa Pandumaan, Haposan Sinambela menjelaskan mengapa mereka perlu membawa sesaji sebelum mulai menyadap getah kemenyan.
"Lepat itu dibentuk bulat-bulat besar, agar getah yang dihasilkan bentuknya juga seperti itu (bulat dan besar), kalau itak gur-gur itu memang harus diremat hal itu melambangkan kalau kita sayang dia (Pohon Kemenyan) dan ingin memeluknya, kata Haposan.
Penduduk desa Pandumaan dan Sipituhuta yang telah menjaga hutan yang mereka sebut Tombak Hamijon itu selama 17 generasi, dari dulu mereka selalu memperlakukan pohon kemenyan seperti perempuan, oleh sebab itu mereka selalu memberi perlakuan yang istimewa untuk pohon kemenyan.
Memperlakukan pohon kemenyan seperti perempuan bukan tanpa alasan, konon pohon itu adalah jelmaan perempuan yang hendak dinikahi oleh seorang raja.
"Orangtuanya menyembunyikan anak perempuannya ke dalam hutan agar tidak dinikahkan karena umurnya belum pantas. Selama disembunyikan itu dia menangis, air matanya itu lah berubah menjadi getah kemenyan. Setelah itu si anak berkata Jangan paksa aku membayar utang kalian, bawa saja apa yang ada,," kata dia.
Lalu orangtuanya pun membawa getah kemenyan tersebut, sesampainya di rumah getah itu dibakar wanginya menyebar ke luar. Sang raja mencium wangi tersebut, dia mencari dan meminta orangtua itu memberikan benda wangi tersebut.
Raja terus memaksa dan berjanji akan menganggap lunas semua utang keluarga tersebut jika mereka memberikan benda tersebut, akhirnya kedua orangtua itu memberikan getah kemenyan kepada raja.
Hingga kini mereka masih setia dengan kemenyan, mereka masih menjadikan kemenyan sebagai salah satu sumber utama pendapatan mereka.
Setiap senin, para laki-laki akan menempuh perjalanan sekitar lima hingga jam dari kampung mereka menuju hutan kemenyan, di sana mereka akan menginap di dalam hutan selama seminggu hingga dua minggu.
"Kami tidak kenal takut, kami di dalam pondok ini sendiri saja, kalau makan tinggal masak nasi dan bakar ikan dan mengambil tumbuh-tumbuhan dari sekitar hutan," jelas Arnold Lumban Batu, petani dari desa Sipituhuta.
Jika sakit, mereka tidak pernah pergi berobat, mereka hanya menggunakan tanaman-tanaman dari hutan untuk menyembuhkan penyakitnya.
"Kampung kami ini tidak pernah berobat, karena kami selalu menggunakan tanaman dari hutan, jadi kami tidak pernah mengeluarkan uang untuk berobat," jelas dia.
Saat ini satu kilogram getah kemenyan basah dapat dijual dengan harga Rp280 ribu, sementara getah kemenyan yang sudah kering dapat dijual dengan harga Rp350 ribu per kilogram.
Mahalnya harga kemenyan itu membuat mereka berdaya secara ekonomi, mereka dapat menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Namun sejak 2009, tanah adat mereka direnggut suatu perusahaan yang mendapat izin konsesi di wilayah yang telah dikelola masyarakat adat sejak tahun 1800-an.
Hutan itu dirambah, berbagai polemik pun terjadi hingga akhirnya pada akhir 2016 melalui Surat Keputusan Menteri KLHK, negara pun mengakui sembilan hutan adat, termasuk Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta seluas 5.172 Ha.
Mereka bersyukur dan sangat berterimakasih kepada pemerintah atas pengakuan tersebut.
Pengakuan tersebut bukan berarti masalah telah selesai, hingga kini perusahaan itu masih saja membandel dan tetap menggunakan sekitar 500 ha hutan mereka untuk menanam eucalyptus.
Mereka pun terus berjuang untuk mendapatkan hutannya kembali.
Perambahan hutan dan penanaman eucalyptus di hutan mereka, membawa dampak serius bagi kualitas kemenyan dan lingkungan sekitarnya.
"Dulu satu pohon kita dapat memanen satu kilogram getah, namun sejak hutan kami dirambah satu pohon hanya dapat menghasilkan 1/4 kilogram saja dengan kualitas getah yang kurang baik," jelas Arnold.
Dia mengatakan pohon eucalyptus memang rakus hara, sehingga berpengaruh pada kualitas getah kemenyan mereka.
Tidak hanya itu, pohon kemenyan memang harus tumbuh berdampingan dengan pohon hutan lainnya, pohon kemenyan biasanya berlindung di antara pohon-pohon alam lainnya, sehingga tidak pernah terpapar matahari langsung.
Sejak hutan mereka dirambah, hutan tersebut tidak rimbun lagi, sehingga pohon-pohon kemenyan terpapar matahari langsung, hal itu berdampak pada kualitas getah yang dihasilkan pohon kemenyan.
"Getahnya jadi gosong dan meleh, tidak bulat-bulat," kata dia.
Tak hanya itu, pondok mereka juga sering didatangi oleh hewan-hewan buas seperti beruang yang mencari makan karena hutannya telah dirambah.
"Sekarang beruang suka datang ke pondok, pukul-pukul dinding untuk mengambil makan. Mereka biasanya makan minyak dan gula," jelas Arnold.
Ketua Pejuang Tanah Adat Pandumaan-Sipituhuta James Sinambela mengatakan mereka akan terus mempertahankan tanah tersebut, mereka tidak memiliki niat untuk menjual atau mengubah fungsi dari hutan kemenyan tersebut.
"Kalau tanah ini sudah kembali, kami akan menanami bibit-bibit kemenyan, tidak ada niat kami untuk mengubah fungsi hutan ini. Perlu waktu sekitar 30 tahun untuk memulihkan hutan ini, kami tidak perlu bantuan dari pihak lain. Kami suka rela untuk memulihkan hutan ini dengan tangan kami sendiri," kata dia.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017