Jakarta (ANTARA News) - Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan mempelajari gaya hidup kandidat calon hakim konstitusi pengganti Patrialis Akbar.
"Nanti yang kami perhatikan itu dari life style dari seorang calon bisa diketahui kecenderungannya. Gaya hidupnya bagaimana bisa diperhatikan, misalnya perbandingan antara income dengan kebiasaan hidup kan bisa terlihat," kata anggota Pansel MK Maruarar Siahaan di kantor Sekretariat Negera (Setneg) Jakarta, Selasa.
Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) sejak 21 Februari 2017 mengenai penunjukan Pansel Hakim MK yang beranggotakan mantan Wakil Ketua MK Harjono (sekaligus ketua), pengacara dan aktivis HAM Todung Mulya Lubis, pakar hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Ningrum Natasya Sirait, Hakim Konstitusi 2003 s.d. 2009 Maruarar Siahaan, serta komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta.
Hingga pendaftaran calon hakim MK dibuka pada tanggal 22 Februari 2017, baru ada tiga orang yang mendaftarkan diri sebagai calon hakim MK. Seleksi administrasi akan dibuka hingga 3 Maret 2017.
"Saya optimistis saja pada saat-saat terakhir nanti itu akan hadir mereka semua yang betul-betul berminat dan memenuhi syarat. Jadi, saya kira ini membutuhkan waktu untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, itu saja," kata Maruar yang menjabat sebagai hakim konstitusi 2003 s.d. 2009.
Ia pun mendorong agar mereka yang memiliki integritas untuk ikut mendaftar sekaligus berkontribusi dalam seleksi MK itu.
Maruar juga membuka kesempatan bagi politikus ikut mendaftar sebagai calon hakim MK.
"Tidak ada larangan, ya, (bagi politikus) karena pendaftaran ini suatu hal yang terbuka dan kami bersikap nondiskriminatif, tetapi yang menjadi kriteria kita adalah apakah dia bisa menjaga independensi dan cukup integritasnya untuk menjabat posisi itu," kata Maruar.
Artinya, syarat untuk menjabat sebagai hakim MK adalah berintegritas.
"Pak Mulya (Todung Mulya Lubis) sudah mengatakan itu, syaratnya itu satu integritas, dua integritas, dan tiga integritas," ucapnya.
Ia pun mengaku Pansel Hakim MK akan meminta pendapat KPK, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaski Keuangan (PPATK), Komisi Yudisial, Polri, dan BIN untuk mengetahui rekam jejak para calon.
"Saya kurang tahu bagaimana pansel pada masa Pak Patrialis. Akan tetapi, yang kita inginkan sekarang jejak rekam yang itu semua kelompok masyarkat, kemudian lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang ini, misalnya KPK, PPATK, Polri, dan BIN itu kami minta, terutama KY itu yang memiliki jaringan di daerah-daerah akan kami libatkan untuk kita lihat atau telusuri rekam jejak orang itu," ujar Maruarar.
Beberapa syarat dan ketentuan, antara lain, warga negara Indonesia, berijazah doktor dan magister dengan dasar strata satu (S-1) yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada tanggal 1 April 2017, dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada hari Kamis (16/2), Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan hakim konstitusi Patrialis Akbar melakukan pelanggaran berat karena bertemu dan membahas perkara uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 dengan pihak yang berkepentingan dengan perkara, yaitu pengusaha Basuki Hariman dan membocorkan draf putusan MK yang bersifat rahasia kepada rekannya Kamaludin. Selanjutnya, memberikan draf itu ke Basuki.
Patrialis saat diangkat pada tahun 2013 merupakan usulan pemerintah. Usulan hakim MK dapat berasal dari presiden, Mahkamah Agung, dan DPR.
Patrialis Akbar diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20.000 dolar AS dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 tentang UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017