Jakarta (ANTARA News) - Pendekatan budaya yang dilakukan oleh Njeng Sunan Kali dalam memperkenalkan agama Islam ibarat menyebar biji di tanah yang subur.
Orang Jawa, penduduk Pulau Jawa, menurut buku "Bawarasa Kawruh Kejawen: Ngelmu Hidup" (Senandung rasa tentang Ilmu Kejawen; Falsafah Bekal Hidup) karya Ki Sondong Mandali, menyebutkan, sebelum agama Syiwa (Hindu)-Budha dan Islam masuk, orang Jawa sudah memiliki sistem religi sendiri.
Orang Jawa memiliki ritual menyembah (manembah) Tuhan berdasar tiga konsep, yakni menyembah/berbakti kepada Tuhan, penguasa alam semesta dengan selalu eling (sadar) terus menerus; melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ritual sesaji; dan melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
Ketiga konsep itu sama dengan ajaran Islam. Konsep pertama disebut hablum-minallah, konsep kedua terkait dengan rahmatan lil alamiin dan konsep ketiga hablum-minannas.
Yang banyak disebut hanya yang pertama dan kedua, yakni hablum-minallah dan hablum-minannas. Seorang ustadz yang tertarik dengan tasawuf, mengatakan mestinya hablum-minalam perlu juga disebut.
Jadi, ada trilogi semboyan mengabdi kepada Allah, yakni hablum-minallah, hablum-minalam, dan hablum-minannas.
Dengan alasan semua makhluk isi alam semesta ini, termasuk makhluk halus, binatang dan tanaman adalah sesama saudara ciptaan Allah, orang Jawa melakukan sesaji untuk menghormati saudaranya dan para leluhurnya, bukan untuk menyembah.
Praktek sesaji ini dianggap musyrik atau klenik oleh sejumlah pihak yang menentangnya.
Sunan Kalijaga mengubah sesaji ini dengan sedekah. Toh, makanan dan minuman yang disajikan untuk makhluk halus dan arwah para leluhur itu akhirmya juga dimakan manusia dan atau binatang, makhluk hidup ciptaan Allah juga.
Makhluk halus hanya ingin dan cukup menghirup bau atau sarinya saja. Wallahu alam.
Sunan Kali juga menggunakan simbol burung yang diberi nama "Segara Rob" dalam melukiskan betapa sulitnya mencari, menemukan dan manunggal dengan Tuhan. Mistikus Islam, Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim Farid ud-Din Attar (1145-1221) menggunakan simbol burung "Simurgh".
Dikisahkan, ribuan Simurgh ingin mencari Tuhan. Dari ribuan, tinggal 40 dan tersaring lagi tinggal empat ekor. Dan burung itu menemukan Tuhan itu ternyata dirinya sendiri.
Jumlah empat itu dalam khasanah budaya spiritual Jawa dikemas dengan istilah "sedulur papat kelima pancer" (empat saudara, kelima pusat, dirinya sendiri).
Angka empat juga dikaitkan dengan arah mata angin, empat unsur bahan manusia, yakni bumi (tanah), air, api dan angin, dan empat nafsu manusia, yakni amarah, lawwamah, sufiah dan mutmainnah dengan empat warna masing-masing, yakni merah, hitam, kuning dan putih. Juga dikaitkan dengan empat sahabat Nabi Muhammad (SAW).
Mungkin serba "othak-athik, mathuk-gathuk" atau dicocok-cocokkan. Yang jelas, penyebaran Islam di Tanah Jawa bisa mudah masuk berkat pendekatan budaya lokal. (Bersambung).
*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
(A015/N004)
Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017