Jakarta (ANTARA news) - Isu ongkos logistik kembali menghangat.
Ini artinya hal yang satu ini sejatinya bukan barang baru, tetapi sudah berurat-berakar dalam tubuh usaha transportasi kita.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih mengendalikan roda pemerintahan, ia memerintahkan Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar berkantor di Tanjung Priok dengan satu misi: mengendalikan geliat liar ongkos logistik.
Tak puas, sang presiden lalu membentuk gugus tugas atau "task force" yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil dengan tugas yang sama dengan yang diemban oleh Wamenkeu.
Sayang sekali, sampai Presiden SBY digantikan oleh Presiden Joko Widodo masalah ongkos logistik yang mahal tetap tidak terpecahkan. Dan, problem ini diwarisi oleh Presiden Joko Widodo hingga sekarang. Tentu dimensi persoalan ongkos logistik pada pemerintah saat ini berbeda dengan pendahulunya.
Kini, jika masalah ongkos logistik menyeruak ke permukaan dan menjadi topik hangat di kalangan pemangku kepentingan (stakeholder), khususnya kemaritiman, maka itu karena adanya fenomena yang rada kontradiktif di lapangan.
Kontradiktif, karena pada saat pemerintah begitu bersemangatnya memenggal "dwelling time" (DT) peti kemas impor di pelabuhan utama di seluruh Indonesia, upaya itu tidak diikuti dengan turunnya ongkos logistik. Yang terjadi ongkos logistik malah justru melejit.
"Center of gravity"
Mengapa ongkos logistik tidak berbanding lurus dengan menurunnya DT yang saat ini sudah 2,7 hari (di Pelabuhan Tanjung Priok)? Di mana "center of gravity" masalah yang satu ini? Center of Gravity atau CoG secara sederhana dapat dipahami sebagai titik tumpu/inti suatu benda, bisa juga permasalahan.
Lantas, di mana CoG masalah ongkos logistik yang melejit di tengah DT yang turun itu? Ia terletak pada tingginya "movement" (pergerakan) peti kemas selama di area pelabuhan.
Kalau peti kemas yang bergerak itu sudah berdokumen lengkap alias "clear and clear" dan langsung keluar pelabuhan, tidak jadi masalah. Seringkali peti kemas itu hanya berpindah dari lini 1 ke lini 2. Dalam kalimat lain, masih tetap dalam area pelabuhan.
Nah, di sinilah masalah muncul. Pemindahan peti kemas ke lini 2 tentu tidak masuk dalam perencanaan pemilik barang ("shipper"). Mereka berpikir barangnya akan lancar keluar dari pelabuhan.
Karena itu, biaya yang mereka siapkan pun termasuk standar saja semisal freight, THC/CHC, trucking dan lainnya. Namun, karena satu dan lain hal, peti kemas mereka tersendat. Terpaksalah kocek dirogoh makin dalam. Namanya biaya dadakan, jelas tak ada ukuran untuk apa saja biaya tambahan itu.
Jadi, yang terjadi dalam proses bongkar-muat peti kemas impor di pelabuhan di Indonesia adalah karena tidak adanya "reliability" dan "timeliness" dalam seluruh mata rantai kegiatan. Dan, menurut temuan Bank Dunia yang dipublikasikan pada 2015, kedua aspek tersebut merupakan sebagian dari biang kerok tingginya ongkos logistik nasional.
Keterbukaan
Praktik geser-menggeser peti kemas dalam area pelabuhan diatur dalam Permenhub No. 116/2016 tentang barang "long stay" atau melewati batas waktu penumpukan.
Menurut aturan tersebut, peti kemas yang sudah lebih dari dua hari di container yard (lini 1) harus segera "ditendang" keluar.
Keluarnya peti kemas dalam masa dua hari inilah yang dihitung sebagai selesainya proses dokumentasi selama dua hari. Dari sini pulalah klaim DT 2,7 hari itu berasal.
Menariknya, entah dari mana awal mula ceritanya, berkembanglah cerita, lebih tepatnya tudingan, operator pelabuhanlah yang menjadi biang kerok tingginya DT, sekaligus ongkos logistik.
Pelindo, terutama Pelindo II, dituding tidak efisien, kemaruk dalam mencari untung dan lain sebagainya yang berujung membengkaknya ongkos logistik.
Pihak yang menuding ada dari kalangan operator pelayaran, forwarder, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga pejabat tinggi pemerintah.
Tudingan itu bisa jadi benar, tetapi dapat pula salah sasaran. Artinya, bila Pelindo memang memiliki saham dalam tingginya DT dan ongkos logistik, maka demikian juga pihak lainnya.
Dalam premis yang lebih gamblang, forwarder, operator lini 2 (tempat penimbunan sementara/TPS) dan pihak ketiga mitra usaha Pelindo lainnya harus juga turut dituding.
Alih-alih, mereka ini malah dengan tanpa sungkan menyalahkan Pelindo atas buruknya DT dan tingginya ongkos logistik.
Untuk itu diperlukan keterbukaan semua pelaku usaha di pelabuhan. Sebagai BUMN, rasa-rasanya hampir tidak ada lagi elemen yang tidak dibuka oleh Pelindo.
Mau menaikkan biaya atas jasa yang diberikan kepada pengguna, perusahaan pelat merah ini mengajak rapat asosiasi yang ada di pelabuhan dan meminta persetujuan mereka sebelum dibawa ke Menhub agar di-SK-kan.
Itu belum ditambah dengan sejumlah kewajiban kepada negara yang harus disisihkan dari pendapatan korporasi dalam bentuk dividen, pajak, dan seterusnya, sehingga hanya tersisa sedikit untuk pengembangan usaha.
Tak ada pilihan lain selain melibatkan pihak ketiga, seringkali investor asing, jika ingin melebarkan sayap usaha. Namun, jajaran direksi harus siap-siap dibilang "menggadaikan negara" hingga dikriminalisasi dengan kebijakan tersebut.
Pertanyaannya kini, seberapa terbukakah forwarder, operator TPS serta mitra usaha Pelindo lainnya atas biaya-biaya yang dikenakan kepada pengguna jasa mereka?
Ayo, terbuka.
*Penulis, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
(A015/A011)
Oleh Siswanto Rusdi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017