Jakarta (ANTARA News) - Konflik berdarah berupa manusia versus harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Sumatera Barat masih berlanjut. Kondisi ini sudah seharusnya diakhiri untuk kehidupan yang lebih baik untuk manusia atau si "Raja Hutan" itu.
Pemicu konflik ini biasanya disebabkan ulah manusia juga, di antaranya pembukaan hutan untuk lahan perkebunan baru atau untuk perumahan dimana areal yang dibuka merupakan habitat asli harimau sumatera seperti hutan Sumatera.
Akibatnya, banyak harimau sumatera yang "turun gunung" hingga mendekati pemukiman manusia dan memangsa binatang ternak peliharaan bahkan manusia sendiri.
Sebab lain karena faktor ekonomi yang dipicu nilai jual organ-organ harimau yang cukup tinggi di pasaran gelap.
Akibatnya perburuan liar oleh manusia terhadap harimau sumatera terus pula berlanjut ditambah pula faktor pengobatan tradisional yang banyak memakai organ hewan kharismatik itu.
Pemerintah Indonesia pun terus berusaha mengatasi dan menghentikan konflik ini. Upaya yang dilakukan dengan membuat dan mengeluarkan regulasi terkait masalah ini.
Salah satunya UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pada pasal 21 undang-undang itu, huruf d menegaskan: "Setiap orang dilarang untuk memperniagakan, menyimpan atau memiliki, kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia".
Pelanggaran dari ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimum Rp100 juta. Lalu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Berbagai regulasi itu ternyata belumlah cukup untuk menghentikan secara otal konflik manusia harimau yang justru terus terjadi yang berujung korban jiwa.
Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Agam, dimana ada laporan sebanyak tiga ekor kerbau milik warga Cubadak Lilin, Nagari Baringin, Kecamatan Palembayan, Sumatera Barat, diduga dimangsa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) saat digembalakan di kawasan Hutan Cagar Alam Maninjau, Rabu (22/2).
Pemilik ternak tersebut, Petriana (55) mengatakan satu ekor kerbau dengan berat sekitar 130 kilogram saat ditemukan pada bagian kaki dan perutnya sudah habis dimakan. Sedangkan dua ekor anak kerbau dengan berat sekitar 40 kilogram hanya dibunuh.
"Ketiga ekor kerbau itu tergeletak di padang rumput dengan jarak sekitar satu kilometer dari rumah saya. Dengan kejadian ini saya mengalami kerugian sekitar Rp30 juta," katanya.
Ia bersama warga lain, dan wali jorong sudah memberitahukan peristiwa ini ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Agam.
Sementara Kepala BKSDA Agam, Syahrial Tanjung, mengatakan, ketiga kerbau ini diduga kuat dimangsa harimau sumatera, karena pada lokasi ditemukan jejak telapak kaki harimau sumatera dan jejak luka pada kerbau.
"Kami tidak bisa memastikan jumlah dan seberapa besar harimau sumatera itu, karena jejak telapak kaki sudah mulai hilang terinjak warga. Kami telah mengusir harimau ke tengah hutan dengan cara menciptakan bunyi-bunyian," katanya.
Dilihat dari cara memangsa harimau ini, katanya, induk harimau sumatera sedang melatih anak-anaknya untuk berburu makanan di hutan sebelum harimau sumatera itu berpisah.
"Kalau sudah bisa berburu, maka induk harimau sumatera akan berpisah dengan anaknya. Apabila ada anak harimau berkelamin jantan, maka mereka akan mencari lokasi baru," katanya.
Pihaknya mengimbau warga untuk tidak mengikat kerbau di kawasan Hutan Cagar Alam Maninjau, karena di daerah itu merupakan habitat harimau sumatera.
Selain itu tidak mengganggu habitat harimau dengan cara merusak hutan, berburu rusa, kijang dan lainnya di lokasi itu.
"Apabila ini terjadi maka harimau akan turun ke permukiman warga untuk mencari makan," katanya.
Konflik susulan
Kabar harimau sumatera memangsa ternak warga itu, terjadi hanya beberapa hari sejak perdagangan organ-organ harimau di Sumatera Barat diungkap.
Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK) beserta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat dan Riau mengungkapkan pedagangan kulit harimau sumatera itu.
Tim berhasil membekuk lima pelaku yang diduga melakukan perdagangan kulit harimau sumatera.
"Penangkapan bermula dari laporan masyarakat bahwa akan diadakan transaksi perdagangan kulit harimau beserta bagian tubuh lainnya, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pengintaian pelaku," ujar Kepala Seksi BPPLHK Wilayah II Sumatera, Edward Hutapea.
Setelah memperoleh cukup informasi, katanya, akhirnya petugas menangkap kelima pelaku di Jorong Simpang Nagari Koto Gadang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, sekitar pukul 08.00 WIB.
Mereka adalah SY (35), N (49), IZ (23), SU (33), dan DMS (28), dari pemeriksaan awal diketahui berasal dari luar Sumatera Barat, yakni Riau dan Jambi.
Dalam penangkapan itu, petugas mengamankan barang bukti satu lembar kulit harimau sumatera dengan jenis kelamin betina yang diperkirakan berumur dua tahun.
Lalu, dua rangkaian utuh tulang-belulang harimau sumatera, serta paruh burung rangkong yang telah diolah dalam bentuk batu cincin.
Petugas juga menyita dua unit kendaraan roda empat dengan nomor polisi BM 1860 QB, dan BA 1979 TF yang digunakan oleh para pelaku, serta delapan unit telepon genggam yang juga ikut diamankan.
Para pelaku akan dijerat pasal 21 ayat (2) huruf d, juncto pasal 40 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Pelaku akan diancam dengan pidana maksimal lima tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta," katanya.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil setempat masih melakukan penyidikan terhadap pelaku untuk mengungkap jaringan perdagangan dan perburuan satwa langka itu.
Sedangkan petugas BKSDA Sumatera Barat, Wawan Sukawan, mengungkapkan cuma ada 600 harimau sumatera di habitat alamiahnya, di hutan belantara.
Masih terus berlangsung perburuan dan perdagangan terhadap satwa dilindungi itu, makin mengurangi populasinya di alam, sekaligus mengancam kelestariannya.
Oleh Hendra Agusta
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017