... dalam hal ini MA tidak mau dipojokkan untuk mengambil sikap...
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menilai sikap Mahkamah Agung menolak memberi fatwa terhadap status Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama, itu wajar. Sebelumnya Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, meminta MA memberi fatwa tentang ini.
"Saya kira dalam hal ini MA tidak mau dipojokkan untuk mengambil sikap," kata politisi Partai Gerindra itu, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Dia mengatakan sudah ada kejelasan yurisprudensi bahwa penonaktifan kepala daerah yang berstatus terdakwa tidak harus menunggu vonis hukum.
Politisi Partai Gerindra itu menilai beberapa contoh menunjukkan bahwa saat kepala daerah baru berstatus tersangka saja sudah ditahan bahkan diberhentikan.
Adalah Partai Gerindra pula yang pernah mengantar Purnama menuju kursi wakil gubernur DKI Jakarta pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu dia berpasangan dengan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Saat itu Partai Gerindra berkoalisi dengan PDI Perjuangan.
Kini, Fadli mengatakan soal Purnama itu, "Lalu yang dakwaannya di bawah lima tahun, misalnya empat tahun, langsung diberhentikan sementara."
Dia mempertanyakan bagaimana seorang kepala daerah berstatus terdakwa diaktifkan lagi sementara yang lain tidak, maka itu tidak adil. Purnama berstatus terdakwa atas kasus dugaan penistaan agama selagi dia diaktifkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta.
Fadli menilai ketidakadilan itu dirasakan sebagian masyarakat sehingga pada akhirnya hukum menjadi alat kekuasaan. "Karena kalau seseorang sudah terdakwa dan masih memimpin daerah tanpa kejelasan, saya kira ini merusak tatanan di pemerintahan daerah sendiri," katanya.
Sebelumnya, Kumolo mengatakan, akan mendatangi Mahkamah Agung untuk berkonsultasi terkait gugatan yang beberapa pihak terkait penonaktifan Purnama.
"Saya kira sebagai warga negara, kami ikut saja. Kami hargai semua pendapat, kami rencanakan untuk paling lambat besok pagi (Selasa, 14/2) menyampaikan ke MA," kata Kumolo, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/2).
Hal itu menurut dia terkait gugatan yang dilayangkan Advokat Cinta Tanah Air ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena status Ahok hingga saat ini belum dinonaktifkan. Massa juga menggelar demonstrasi di muka Gedung Parlemen karena fenomena ini.
Hari ini, secara terpisah Presiden Jokowi menyatakan, bahwa politik di dalam negeri sudah kebablasan sekalipun dia mengatakan pula bahwa Indonesia masih bersatu.
Kumolo mengatakan, Kementerian Dalam Negeri akan menginventarisasi persoalan penonaktifan Purnama, di antaranya penandatangan surat pemberhentian kepala daerah karena status terdakwa dan kasus yang menggunakan dakwaan alternatif.
Dia menjelaskan selama ini bagi pejabat maupun kepala daerah yang tersangkut hukum dengan dakwaan yang jelas, semisal pada operasi tangkap tangan, langsung diberhentikan.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung menolak untuk memberikan pendapat terhadap status Purnama seperti permintaan Kumolo.
"Isi surat adalah kami tidak memberikan pendapat karena sudah ada dua gugatan TUN (Tata Usaha Negara) yang masuk ke Pengadilan TUN," kata Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Syarifuddin, di Jakarta, Selasa (21/2).
Dia menjelaskan fatwa itu sudah dikeluarkan karena ada dua gugatan TUN mengenai hal sama yang sudah dimasukkan ke PTUN. Karena itu menurut dia kalau MA berikan fatwa maka akan mengganggu indepedensi hakim.
"Kalau kami yang memberi fatwa, seperti kami yang memutuskan, khan pengadilan harus berjalan," tegas Syarifuddin.
Juru Bicara MA, Suhadi, mengaku MA memang mencegah diri mengeluarkan pendapat bila persoalan itu sudah atau berpotensi dibawa ke tahap pengadilan.
Status Purnama digugat Advokat Muda Peduli Jakarta pada 13 Februari 2017 ke PTUN Jakarta karena menilai dia harus diberhentikan sebagai gubernur. Selain AMPETA, Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) juga mengajukan gugatan ke PTUN pada 20 Februari 2017 dan menuntut agar Jokowi memberhentikan Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017