Jakarta (ANTARA News) - Inovasi dan kreativitas untuk menghasilkan produk mumpuni dan teruji ada dalam kesesakan, dan itu benar adanya. Lihat yang dilakukan Ukraina, saat Semenanjung Krimea diduduki pasukan Rusia. Jika mau menang, salah satu pilihan adalah meningkatkan belanja peralatan perang menghadapi raksasa Rusia.
Masalahnya, Ukraina —tiga tahun lalu— cuma punya uang 500 juta dolar Amerika Serikat untuk dibelanjakan ke benda-benda perang. Itupun masih menguap 25 persen karena korupsi di kalangan birokrasinya. Apa akal? Laman www.popularmechanics.com mengetengahkan beberapa cara Ukraina mengatasi masalah itu.
Dalam praktik perang modern, memiliki informasi dan “mata di angkasa” adalah suatu keunggulan yang mutlak harus dimiliki jika ingin meraih keunggulan di udara secara menyeluruh. Tiga tahun lalu, Ukraina cuma memiliki UAV warisan Uni Soviet, Tupolev Tu-143, yang sudah sangat usang dan lapuk teknologinya.
Rekaman “data” hasil kerja pengamatan dan pengintaiannya masih disimpan di gulungan film! Walhasil, jajaran Tu-143 Ukraina ini mudah sekali dirontokkan di udara oleh separatis yang dimotori Rusia saat itu.
Jelas, Ukraina perlu pengganti, yang idealnya bisa dipakai untuk menyerang. Jika ingin membeli UAV sangat canggih buatan Amerika Serikat, RQ-4 Global Hawk, harganya 130 juta dolar Amerika Serikat. Terlalu mahal untuk Ukraina.
Di sinilah lalu “uji kreativitas dan inovasi” digelar. Mereka beralih ke produk-produk UAV untuk kalangan sipil yang harganya murah, menggunakan dana dari masyarakat yang dinamakan The People’s Project untuk membeli perangkat kerasnya. Dari dana umat ini, mereka bisa membeli dua (betul, cuma dua) unit DJI Phantom 2S, satu Skywalker X8, dan satu Oktocopter.
Jika dipakai untuk merekam dari udara hasil jalan-jalan atau membuat film iklan, atau sekedar memata-matai tetangga, semua UAV kelas sipil itu sudah amat sangat mumpuni, bahkan kelebihan spesifikasi. Beda lagi kalau UAV-UAV itu dipakai untuk keperluan bertempur; sangat mudah ditundukkan. Misalnya, infrastruktur telekomunikasi mereka sangat mudah di-jam, jarak terbang yang pendek, dan usia baterai lebih pendek.
Hingga pada akhir 2014 itu, perusahaan pemula, UKRSPECSYSTEMS, mulai merancang UAV dari reruntuhan yang ada memanfaatkan komponen-komponen dari UAV komersial yang dijual umum. Nama UAV ciptaan UKRSPECSYSTEMS itu sederhana saja: PD-1 alias People’s Drone-1. Mesinnya sederhana, yaitu mesin piston biasa yang menggotong sayap sepanjang tiga meter, dan mampu terbang selama tiga jam.
Dia menggotong video kamera di pod khusus sehingga bisalah dia menjadi “mata di angkasa” bagi Ukraina di medan depan.
Selain PD-1, Ukraina memiliki beberapa UAV lain hasil rancangan anak bangsanya. Milisi Ukraina mengembangkan Spectator, hasil kerja mahasiswa di Institut-Politeknik Kiev, juga Stork-100, Rama, Apus 1905, hingga akhirnya militer Ukraina mendata ada 30 tipe dan jenis UAV hasil rancangan mereka semua.
Dari semuanya, yang cukup bisa dianggap tangguh adalah A1-CM-Furia, yang dikembangkan perusahaan pemula Athlone Air, yang didirikan Artem Vyunnik. Dia bilang bahwa dia sudah berkiprah dengan UAV jauh sebelum pasukan Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea sampai akhirnya memodifikasi hasil karyanya untuk keperluan perang itu.
Mesin listrik A1-CM-Furia bertugas menggotong fuselage dengan sayap sepanjang 2,5 meter untuk penerbangan selama dua jam. Kamera digitalnya memiliki kemampuan zoom yang cukup kuat untuk membedakan manusia yang membawa senapan atau sekop di tangannya dari jarak 500 meter.
Lumayanlah untuk keperluan mengintai kawasan di tingkat kompi, dengan kisaran harga antara 10.000 hingga 22.000 dolar Amerika Serikat per unit.
Mengetahui bahwa Ukraina memerlukan UAV militer, maka pada Juli 2016 Amerika Serikat menawarkan program bantuan militer berupa 72 unit RQ-11 Raven seharga 12 juta dolar Amerika Serikat. Walau terbukti di medan perang (battle proven) di Irak dan Afghanistan, RQ-11 Raven tidak berkutik di Ukraina karena perang elekronika Rusia yang lebih canggih lagi. Akhirnya RQ-11 Raven hanya memenuhi hanggar penyimpanan saja.
Dalam wawancara pada 2015, pabrikan A1-CM-Furia menyatakan UAV buatan mereka memakai berbagai kanal radio sehingga jika beberapa kanal di-jam maka UAV itu masih bisa beroperasi. A1-CM-Furia bisa bertahan dari gangguan sistem GPS mereka, dan saat semua signalnya diblok, sistem otopilolnya bisa membawa dia pulang ke pangkalan. A1-CM-Furia dianggap mampu menjawab setengah pertanyaan yang harus dijawab.
Ukraina cukup beruntung mewarisi banyak perusahaan industri pertahanan pada masa Uni Soviet berkuasa, salah satunya Antonov yang kini bagian dari BUMN mereka, UkrOboronProm, yang oleh beberapa pihak dinilai memiliki kelemahan mengingat korupsi di dalam tubuhnya.
Antonov di Ukraina mengungkap prototipe UAV bersayap tetap, AN-BK-1 Horlytsia (Turtle Dove alias Merpati Penyu) dengan sayap sepanjang tujuh meter, sehingga dia menjadi UAV terbesar yang dimiliki Ukraina. Kabarnya, AN-BK-1 Horlytsia siap beroperasi pada 2018.
Dengan semua koleksi UAV yang mampu dibuat Ukraina, mereka kini berhadapan dengan desakan operasionalitas segera. Ibaratnya Teori Darwin berlaku untuk UAV di Ukraina maka kompetisi kini semakin terbuka, hanya mereka yang terkuat, terbaik, dan paling mampu beradaptasilah yang mampu bertahan.
UKRSPECSYSTEMS mengembangkan dan menyempurnakan lagi UAV mereka. Proyek terkini mereka adalah PC-1 berupa multikopter taktis yang dipasangi delapan mesin.
Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017