Di dunia paranoid seperti di sana, demi menyenangkan sang raja, mungkin ada orang yang terlalu jauh melangkah. Untuk soal ini, Anda mesti tanya adiknya (Kim Jong-un)

Jakarta (ANTARA News) - Pada beberapa kali kunjungan ke Jenewa dua tahun terakhir, Kim Jong-man menemui sahabatnya sewaktu remaja dan bersekolah di sekolah internasional bergengsi di kota di Swiss itu. Namanya Anthony Sahakian. Hampir setiap hari Kim melewatkan hari tanpa Sahakian, mulai ngopi bareng, sampai jalan bareng.

Sahakian memanggil Kim dengan "Lee". Sahakian sudah tahu Kim sedang diincar untuk dibunuh adik tirinya, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, begitu si adik berkuasa menggantikan ayah mereka, Kim Jong-il, yang meninggal dunia pada 2011.

"Kami berdua mengobrolkan rezim itu, adik tirinya, mengenai semua hal yang terjadi di sana. Satu hal yang bisa saya katakan adalah dia tidak punya hasrat berkuasa," kata Sahakian (44) dalam wawancara dengan koran Inggris, The Guardian.

"Dia ingin bebas. Dia tak punya ambisi berkuasa di negerinya. Dia tak menerima atau mengapresiasi apa yang terjadi di sana. Dia terus-terusan menjaga jarak dari rezim (Korea Utara)," kenang Sahakian.

Menurut Sahakian, Kim Jong-nam dibayang-bayangi ketakutan sejak adik tirinya berkuasa enam tahun lalu. "Dia takut. Dia paranoid. Secara politik dia memang orang penting. Dia khawatir. Tentu saja dia khawatir."

Kim Jong-nam amat disayang ayahnya, mendiang pemimpin Korea Utara Kim Jong-il, tetapi selalu dijauhkan dari kakeknya sang pendiri dan penguasa pertama Korea Utara, Kim Il-sung, karena sang kakek tak mengakui hubungan di luar nikah Jong-il dengan seorang bintang film, ibunda Kim Jong-nam.

Kim Jong-nam pun melanglang buana, ke Rusia, kemudian ke Swiss di mana dia belajar Bahasa Prancis, Bahasa Rusia, Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris.

Di Swiss ini pula Sahakian pertama kali mengenal Kim, saat itu berusia 12 atau 13 tahun. Kim dikenalkan ke kelas sebagai anak seorang duta besar Korea Utara, padahal masa itu ayah kandungnya tengah disiapkan berkuasa di Korea Utara.

"Dia anak yang amat periang, sangat bersahabat, baik sekali, sangat sopan, pemurah sekali," kenang Sahakian.

Namun ada kebiasaan aneh yang dikenang Sahakian dari Kim, yakni mengendarai mobil mewah Mercedes-Benz 600 yang dia kendarai sendiri, padahal dia baru berusia 15 tahun.

Ketika kembali ke negaranya, Kim Jong-nam sudah dewasa dan menjadi produk budaya Eropa. Menurut memoir bibinya yang mantan pembelot, Kim merasa terkungkung di negerinya sendiri. Dia semakin terasing dari kekuasaan setelah menyelinap ke Jepang dengan menggunakan paspor palsu demi melihat Disneyland pada 2001. Sejak itu dia hidup di pengasingan, di Macau, China, di mana dia tinggal bersama istri dan anak-anaknya, dan juga Singapura. Dia juga punya rumah di Beijing.

Dia pernah kepergok oleh wartawan dan tersenyum kepada mereka sewaktu mengadakan perjalanan dari Paris ke Indonesia. Kendati tahu dia bukan pembelot, wartawan tahu pasti dia sedang mengansingkan diri, entah terpaksa atau dipaksa.

Begitu merasa punya peluang untuk mereformasi negaranya ketika kesehatan ayahnya menurun, pada awal 2011 Kim Jong-nam mengungkapkan pandangan politiknya kepada Yoji Gomi, wartawan Jepang, beberapa bulan sebelum Kim Jong-un diangkat sebagai "Pemimpin Tertinggi."

Namun manakala Gomi menerbitkan buku berisi pandangan-pandangan politiknya pada 2012, yang di antaranya berisi kritik Kim kepada pola transfer kekuasaan di negaranya, Kim Jong-nam bungkam, mungkin takut pada reaksi adiknya yang sudah berkuasa yang mungkin marah karena dianggap menjelek-jelekkan keluarganya sendiri lewat buku yang dikarang wartawan Jepang itu.

Setahun kemudian, paman mereka, bekas orang nomor dua di Korea Utara yang sangat dekat dengan Kim Jong-nam, dieksekusi mati atas tuduhan memiliki ambisi politik kotor. Sejak itu, mulailah operasi pembersihan oleh rezim baru Kim Jong-un.

Sejak itu pula Kim Jong-nam tampil "low profile" sekali, menghindari sorotan awam. "Dia sedih sekali melihat situasi di negaranya. Dan sungguh terenyuh oleh nasib rakyatnya. Hal itu kian menambah tekanan kepada dirinya karena dia tidak bisa berbuat apa-apa," kata Sahakian.

Kim Jong-nam sangat menyadari perannya di tanah kelahirannya itu, kata Sahakian. Dia membahas ":gerontokrasi" atau "kekuasaan oleh para orang tua" dari jenderal-jenderal tua didikan era Joseph Stalin yang melestarikan kekuasaan isolasionis dan penindas di negaranya.

Menurut dia, adik tirinya itu telah menjadi bagian sistem monolitik yang dikendalikan jenderal-jenderal sepuh yang mengelilingi dia.

Kim Jong-nam, yang dianggap seorang reformis, merasa tak berdaya. Tapi walaupun begitu dia sebenarnya masih bisa mengklaim kekuasaan mengingat dia anak tertua dari penguasa negerinya, tetapi dia tahu sekali dia sama sekali tidak memiliki karakter atau keinginan masuk ke dunia bengis perpolitikan Korea Utara, kata Sahakian.

"Anda harus punya darah sedingin es untuk melakukan itu. Dan saya kira dia tak memilikinya," sambung Sahakian. Dia juga bukan monster, tetapi dia juga bukan jetset, penjudi berat, tukang gonta ganti wanita yang selama ini dilekatkan media kepadanya.

"Dia mungkin berjudi, dia mungkin mabuk. Dia suka wanita, tapi apa yang salah dengan semua itu," kata Sahakian.

Kepada Sahakian, King Jong-nam mengaku tak pernah mau menerima uang dari Korea Utara. Dia hidup dari bisnis-bisnis venturanya di Eropa. Ketika mengunjungi Jenewa, ongkosnya berasal dari bisnis marketplace Airbnb.

Tapi bagi orang seperti dia adalah sulit untuk hidup seperti orang normal. Statusnya sebagai anggota keluarga penguasa negara paling terisolasi di dunia membuat dia harus memberi tahu segalanya kepada pemerintah. "Yang dia maksudkan adalah dia harus memberi tahu orang-orang ketika akan pergi. Mereka tak akan mengizinkan dia pergi tanpa dibriefing," sambung Sahakian.

Mungkin gaya hidupnya yang bebas dan koneksi internasionalnya yang luas membuat Pyongyang sangat terancam.

Sejak kematiannya, muncul berbagai spekulasi mengenai alasan pembunuhan Kim Jong-nam, tetapi Sahakian punya teori sendiri yang lebih mengerikan, bahwa Kim dibunuh atas perintah seorang jenderal psikopat sebagai hadiah atau persembahan kepada pemimpin tertinggi Korea Utara.

"Di dunia paranoid seperti di sana, demi menyenangkan sang raja, mungkin ada orang yang terlalu jauh melangkah. Untuk soal ini, Anda mesti tanya adiknya (Kim Jong-un)," kata Sahakian.

sumber: The Guardian

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017