Jakarta (ANTARA News) - Hukuman mati kurang memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana, akibat lemahnya sistem peradilan pidana yang tidak segera melakukan eksekusi sesegera mungkin setelah hukuman mati dijatuhkan, kata kriminolog Adrianus Meliala. "Hukuman mati sebagai alat penjeraan lemah karena kelambanan sistem peradilan pidana," katanya di Jakarta, Kamis. Hal itu dikatakan Adrianus terkait wacana penghapusan hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika yang disampaikan dalam sidang uji materi UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Adrianus, sampai saat ini banyak terdapat terpidana mati yang belum menjalani eksekusi. Bahkan, untuk beberapa kasus terpidana mati harus menjalani eksekusi dalam rentang waktu puluhan tahun setelah vonis dijatuhkan. Adrianus mengatakan penundaan pelaksanaan hukuman mati akan mengurangi efek jera, baik bagi terpidana maupun masyarakat luas. Selain itu, katanya, mentalitas masyarakat juga menjadi salah satu penyebab melemahnya hukuman mati kepada palaku tindak pidana. Tingkat penjeraan hukuman mati hanya bersifat sementara, yaitu beberapa saat eksekusi hukuman mati dilakukan. Menurut dia, masyarakat akan melupakan eksekusi mati dalam jangka waktu tertentu setelah eksekusi tersebut dilakukan. Akibatnya, kejahatan yang berpotensi dijatuhi hukaman mati tidak berkurang. "Tingkat sukses hukuman mati terbatas," katanya. Meski demikian, Adrianus mengatakan keberadaan hukuman mati sebagai alat penghukum masih perlu dipertimbangkan. Menurut dia, hukuman mati sebagai alat penghukum tindak kejahatan serius masih perlu dilakukan sebagai perwujudan keadilan. "Hukuman serius harus diberikan kepada kejahatan yang serius," katanya. Lebih lanjut, peneliti dari Kemitraan itu mengatakan hukuman mati selalu dianggap sah dan dibutuhkan selama masih ada peraturan tentang hal itu. Senada dengan Adrianus, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan seluruh pemidanaan pada dasarnya melanggar hak asasi manusia, namun pelanggaran ini sah karena sesuai dengan hukum yang berlaku. Jaksa Agung juga menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang. Wacana penghapusan hukuman mati terhadap terdakwa kasus narkotika muncul dalam sidang uji materi UU Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Pengujian pasal 80, 81, 82 dalam UU Narkotika yang mengatur hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika dimohonkan oleh tiga terpidana mati kasus Bali Nine warga negara Australia, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, dan Scott Anthony Rush. Sedangkan dua pemohon lain adalah warga negara Indonesia, yaitu Edith Yunita Sianturi yang terlibat kasus kepemilikan narkotika seberat 1.000 gram dan Rani Andriani yang terlibat kasus kepemilikan narkoba seberat 3.500 gram. (*)
Copyright © ANTARA 2007