....Jadi sekarang pemerintah enggak mau lagi mundur soal itu karena setelah 50 tahun masak kita tidak boleh mayoritas."
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Freeport Indonesia untuk menghormati aturan yang ada di Tanah Air terkait perdebatan perubahan status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Menurut Luhut yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Senin, posisi pemerintah jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun.
"Freeport harus menyadari ini adalah B to B (business to business) jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini jadi mereka juga harus menghormati undang-undang kita," katanya.
Mantan Menko Polhukam itu menuturkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut sejak 2009 juga tidak memenuhi kewajiban mereka untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral serta tidak melakukan divestasi 51 persen.
"Itu kan persoalan lama. Jadi sekarang pemerintah enggak mau lagi mundur soal itu karena setelah 50 tahun masak kita tidak boleh mayoritas," katanya.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Dengan status IUPK, posisi pemerintah akan lebih tinggi dari Freeport karena bertindak sebagai pihak pemberi izin usaha pertambangan.
Jika berubah menjadi IUPK, perusahaan harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (berubah-ubah atau prevailing), tidak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Oleh karena itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam.
Lebih lanjut, Luhut menuturkan pihaknya tidak mau diatur oleh perusahaan tersebut untuk melakukan negosiasi selama 120 hari sejak perusahaan melayangkan surat pemberitahuan pelanggaran KK yang diklaim dilakukan pemerintah.
"Masak kita diatur?" ujarnya.
Menurut Luhut, jika induk PTFI yakni Freeport McMoRan Inc tidak setuju dengan status pertambangan baru, maka perusahaan tersebut akan kehilangan peluang berinvestasi di Indonesia karena kontraknya berakhir 2021.
Ia juga mengaku pemerintah siap jika Freeport menggugat ke arbitrase internasional.
"Kalau dihadapkan dengan masalah itu, kami siap," tegasnya.
Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson mengaku akan menggugat pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi status kontrak yang saat ini masih dalam perdebatan.
Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, mengatakan Jumat (17/2) lalu PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh pemerintah.
Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya yang ditandatangani 1991 silam itu. Ia juga menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," katanya.
Richard menuturkan saat ini pihaknya masih terus berunding dengan pemerintah mengenai kepastian kontrak. Hal itu dibutuhkan lantaran Freeport membutuhkan kepastian hukum dan fiskal dalam berinvestasi di Indonesia.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017