Jakarta (ANTARA News) - Induk PT Freeport Indonesia, Freeport McMoRan Inc menegaskan akan tetap beroperasi di Indonesia kendati nantinya tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan mengenai status kontrak pertambangan.
"Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumber daya yang penting bagi Freeport, juga merupakan objek penting bagi pemerintah dan Papua," kata President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.
Richard menuturkan selama beroperasi di Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu telah menginvestasikan 12 miliar dolar AS dan sedang melakukan investasi 15 miliar dolar AS dengan menyerap 32.000 tenaga kerja Indonesia.
Menurut dia, selama 1992-2015, distribusi manfaat finansial langsung antara Indonesia dan Freeport-McMoRan (FCX) adalah 60 persen untuk Indonesia, yang berasal dari pajak, royalti, dan dividen, dengan total 16,5 miliar dolar AS dan 40 persen sisanya untuk FCX yakni dari dividen dengan total 10,8 miliar dolar AS.
"Pajak-pajak, royalti-royalti, dan dividen-dividen di masa mendatang yang akan dibayarkan kepada Pemerintah hingga 2041 diperkirakan melebihi 40 miliar dolar AS," imbuhnya.
Richard menegaskan perusahaan telah berkontribusi hingga 90 persen dalam kegiatan ekonomi Mimika, Papua. Bahkan, ia mengklaim sepertiga kegiatan ekonomi di Papua ditopang oleh bisnis Freeport.
"Selama sisa kontrak, Indonesia akan menerima lebih dari 40 miliar dolar AS. Aset ini terlalu besar bagi kami untuk keluar. Yang kami butuhkan adalah mencari solusi untuk kerja sama dan kami berkomitmen bekerjasama dengan pemerintah," ujarnya.
Richard menjelaskan sejak berakhirnya izin ekspor pada 12 Januari 2017, kegiatan operasi Freeport sudah terganggu. Ia mengungkapkan perusahaan bahkan telah berhenti beroperasi sejak 10 Februari lalu lantaran tidak ada tempat penyimpanan konsentrat.
Hal itu juga diperparah dengan adanya pemogokan kerja oleh karyawan smelter Gresik, yang hanya mampu menyerap 40 persen produksi konsentrat dari tambang di Grasberg.
"Kami berhenti operasi pabrik kami 10 hari yang lalu karena tidak ada storage (penyimpanan) untuk simpan konsentrat kami dan tidak bisa ekspor konsentrat. Kami tidak bisa menghasilkan produk yang tidak bisa kami jual. Akibatnya kami turunkan produksi sangat tajam," ujarnya.
Ia menambahkan Freeport akan melakukan efisiensi dan memangkas biaya-biaya, termasuk melakukan pengurangan karyawan.
"Kami lakukan pengurangan karyawan dua hari lalu kepada kurang dari 10 persen ekspatriat kami. Minggu ini juga kami akan stop karyawan kontraktor kami. Dari 32.000 karyawan, 12.000 karyawan merupakan karyawan langsung kami," katanya.
Richard mengaku prihatin dengan keadaan tersebut, namun ia menegaskan hal tersebut dilakukan bukan untuk menekan pemerintah dalam rangka negosiasi status kontrak.
"Kami lakukan ini bukan karena negosiasi dengan pemerintah tapi hanya terpaksa agar bisnis bisa berjalan secara finansial. Kami harap bisa segera ada jalan keluar," ujarnya.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Jika berubah menjadi IUPK, perusahaan harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (berubah-ubah atau prevailing), tidak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017