Bila membandingkan data real-count KPU DKI Jakarta untuk Pilkada DKI 2017 sampai Jumat 17 Februari dengan data hasil Pilkada 2012, maka daya tarik Pilkada 15 Februari lalu lebih tinggi ketimbang lima tahun silam.

Ekspos habis-habisan media massa sehingga nyaris menutup kabar Pilkada di daerah-daerah lain Indonesia, dan memekakkannya atmosfer politik Jakarta sepanjang Pilkada, telah mendorong bagian terbesar warga Jakarta untuk mendatangi bilik-bilik suara, dengan jumlah jauh lebih banyak dibandingkan dengan Pilkada 2012.

Lima tahun lalu, sekitar 36,6 persen warga Jakarta memilih golput pada putaran pertama, namun tahun ini yang memilih bungkam tidak bersuara hanya 23 persen.

Uniknya, pada putaran pertama Pilkada 2012, dua pasangan yang melenggang ke putaran kedua (Foke-Nara dan Jokowi-Ahok), "hanya" mengumpulkan total 3.323.805 suara atau 76,65 persen. Namun pada putaran pertama Pilkada 2017, dua pasangan yang melenggang ke putaran kedua (Ahok-Djarot dan Anies-Sandi) total mengumpulkan 4.558.223 suara atau 82,96 persen dari total suara.

Angka ini hanya berbeda 34 ribu suara yang diberikan pemilih kepada pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok pada putaran kedua Pilkada DKI 2012 yang saat itu total 4.592.945 suara.

Uniknya, total suara yang diperoleh Ahok-Djarot pada putaran pertama (2.358.587 suara) melebihi jumlah suara yang diperoleh Foke-Nara pada putaran kedua Pilkada 2012 (2.120.815).

Pada Pilkada 2012 yang dimenangkan Jokowi-Ahok setelah mendapatkan limpahan suara dari pemilih calon-calon lain yang kalah pada putaran pertama, ada penambahan jumlah pemilih dan turunnya angkat golput pada putaran kedua Pilkada tahun itu.

Kecenderungan itu kemungkinan besar terjadi pada Pilkada 2017, kecuali pemilih Agus-Sylvi yang mencapai 936.609 suara atau 17,05 persen memutuskan golput, yang nyaris mustahil terjadi.

Yang bisa dilakukan Ahok-Djarot

Untuk memenangkan putaran kedua, Ahok-Djarot harus berkonsentrasi memecah suara pemilih Agus-Sylvi, sambil mengganggu komposisi pemilih Anies-Sandi dan menarik pemilih baru dari orang-orang yang golput pada putaran pertama.

Gerakan massa yang marak sepanjang Pilkada DKI yang tak begitu berhasil menggerus suara Ahok-Djarot dan juga tak terlalu berhasil menaikkan suara Agus-Sylvi yang dianggap banyak kalangan sebagai pihak yang semestinya menarik manfaat terbesarnya, telah memberikan keyakinan kuat kepada Ahok-Djarot bahwa warga Jakarta sangat otonom dalam memutuskan pilihan.

Gerakan massa yang oleh sebagian kalangan diklaim lebih banyak diikuti warga luar Jakarta, kurang berhasil mengarahkan arah suara warga Jakarta karena mungkin warga Jakarta berpikir merekalah yang justru mengarahkan kecenderungan ibu kota, bukan suara daerah yang mengarahkan kecenderungan Jakarta.

Para pemilih Ahok-Djarot telah membuktikan bahwa bukti-bukti pencapaian kerja sebuah pemerintahan adalah terlihat lebih menarik, apalagi saat dihadapkan kepada isu-isu kontradiktif seperti korupsi.

Fakta ini menjadi tantangan dan ajakan reflektif kepada gerakan massa untuk mengevaluasi strategi karena bisa saja pesan dari warga Jakarta adalah juga cermin dari mayoritas diam di Indonesia. Ini tantangan bagi semua kalangan untuk mencermati lebih dalam lagi demografi dan struktur sosial masyarakat, khususnya Jakarta.

Sebaliknya, fakta ini dapat mendorong Ahok-Djarot untuk lebih anteng melakukan pendekatan door to door, seperti dilakukan relawan Teman Ahok yang faktor sejuta KTP-nya jelas tak bisa dianggap sepele.

Investasi sosial yang dilakukan Sandiaga Uno dengan hampir setahun blusukan di seantero Jakarta adalah bukti lain dari efektivitas pendekatan tatap muka dengan publik ini.

Namun ada hal yang harus terus diperbaiki Ahok-Djarot, terutama Ahok. Yaitu, cara berucap dan bahasa tubuh Ahok yang bisa ditangkap arogan oleh pemilih.

Tentu saja bagi 42,91 persen warga Jakarta yang memilihnya pada putaran pertama hal itu tidak bermasalah, namun tidak untuk minimal 9 persen pemilih yang mesti dibidik pasangan ini pada putaran kedua nanti.

Ahok-Djarot juga harus memperbaiki hubungan dengan ulama. Salah satu caranya adalah dengan menarik PKB dan PPP yang sudah berkoalisi di tingkat nasional dengan Presiden Joko Widodo.

Kedua partai ini bisa menjadi jembatan untuk mengonstruksikan lagi hubungan itu demi memperlebar pintu dalam menarik kekurangan sembilan persen suara. Khusus PPP, partai ini memiliki nilai plus karena memiliki hubungan tradisional yang dekat dengan warga asli Jakarta, Betawi, yang porsinya besar dalam ceruk suara DKI.

Yang bisa dilakukan Anies-Sandi

Sebagaimana Ahok-Djarot, kubu Anies-Sandiaga juga memiliki bekal besar mempunyai basis 40,05 persen atau 2.200.636 suara yang hanya 3 persen di bawah jumlah pemilih Ahok-Djarot. Angka-angka ini kemungkinan besar akan sulit pindah ke lain hati pada putaran kedua nanti.

Faktor Prabowo Subianto dan performa debat telah menguatkan afinitas pemilih kepada pasangan ini. Debat Pilkada DKI Jakarta kemungkinan besar telah menjadi salah satu determinan hebat dalam menggiring suara.

Seperti pula terjadi pada Ahok-Djarot, pasangan Anies-Sandi harus siap menghadapi dekarakterisasi yang dapat mengubah pandangan pemilih kepada mereka. Apalagi ketentuan KPU mengenai tidak ada kampanye selama putaran kedua, akan menjadi tantangan, kalau tidak disebut kerugian, bagi mereka.

Anies-Sandi, juga Ahok-Djarot, harus siap menghadapi kenyataan bahwa keseluruhan diri mereka akan dibuka habis-habisan, termasuk masa lalunya.

Namun dibandingkan dengan Ahok-Djarot, secara teoritis pasangan ini seharusnya akan lebih mudah memikat pemilih Agus-Sylvi, mengingat mood umum pemilih kedua pasangan ini relatif identik.

Namun statistik seperti itu tak selalu bersesuaian dengan matematika politik yang setiap waktu bisa berubah oleh manuver kubu-kubu yang tengah bersaing dalam Pemilu.

Anies-Sandi juga mesti berhati-hati untuk tidak gegabah mengubah citra intelektual, santun dan mampu merangkul semua kalangan yang selama ini melekat pada mereka.

Pada matra lain, Anies-Sandi harus lebih sering lagi menguatkan kesan tegas dan keras hati karena ini erat kaitannya dengan konsistensi yang menjadi aspek penting kepemimpinan Jakarta yang pada debat terakhir ditanyakan oleh Agus-Sylvi kepada Anies.

Namun Anies-Sandi tampaknya telah mengalami kemajuan pesat dengan sudah berani agresif di panggung debat sehingga menambah bobot tegas dan berani yang bisa menguatkan citra sebagai pemimpin yang kuat.

Dan sebagaimana Ahok-Djarot, Anies-Sandi juga harus lebih intensif bertatap muka langsung dengan warga. Apalagi mereka mungkin satu-satunya pasangan yang paling banyak menarik manfaat dari metode itu.

Faktor Jokowi-Prabowo

Yang juga menarik dari putaran kedua Pilkada 2017 adalah atmosfernya yang mendadak mengingatkan orang kepada romantisme Pemilu 2014 ketika Joko Widodo dan Prabowo Subianto berhadapan.

Kedua tokoh ini diyakini akan menjadi variabel tak terpisahkan pada putaran kedua ini, dengan Prabowo lebih bebas bergerak ketimbang Jokowi yang sudah menjadi Presiden RI.

Namun patut diingat, prilaku pemilih acap tak bisa diprediksi, apalagi jika berkaitan dengan isu-isu yang menjadi bahan perdebatan luas yang biasanya dinamis selama Pilkada. Dan pengelolaan isu adalah salah satu hal pokok dalam menarik pemilih suara mengambang.

Juga mesti dipertimbangkan, mengutip pakar psikologi Tamara Avant dari South University, Savannah, Amerika Serikat, bahwa "Pemilih sangat terpengaruh oleh pemimpin transformatif yang percaya diri, punya pengalaman, beremosi kuat, dipercaya, optimistis dan fokus kepada tindakan."

Bagian besar warga Jakarta agaknya tak jauh berbeda dari asumsi Avant ini, setidaknya hasil suara putaran pertama lalu menjadi buktinya.

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017