Bengalore, India (ANTARA News) - Sesuai hakekatnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, pengawasan wilayah maritim nasional memerlukan piranti dan sistem pendukung yang mumpuni. Skeldar V-200, pesawat intai tanpa awak dari Saab Swedia, sebentar lagi hadir di Indonesia untuk tugas itu.
Skeldar V-200 yang wujudnya serupa helikopter berukuran sedang dengan karakteristik menyerupai helikopter, di antaranya lepas-landas dan mendarat secara vertikal (VTOL/Vertical Take-off and Landing), mampu mengapung di satu titik di udara (hovering), dan terbang mundur, yang dioperasikan oleh tim terdiri empat atau lima personel saja.
Kabar pengiriman Skeldar V-200 berdimensi sekitar lima meter ini ke Indonesia dikonformasi di sela pameran kedirgantaraan internasional India, Aero India 2017, di Bengalore, India, Kamis. Indonesia, dengan demikian, adalah operator perdana Skeldar V-200 di dunia, setelah wahana udara ini merampungkan berbagai tes dan uji coba pada kuartal keempat 2016.
Wahana udara tanpa awak untuk keperluan intai maritim sejenis Skeldar V-200 sebetulnya sudah dimiliki oleh instansi Indonesia, yaitu Badan Keamana Laut, yang memiliki Rajawali 350; yang ukuran kemampuannnya lebih rendah ketimbang Skeldar V-200.
Rajawali 350 juga versi lain dari Skeldar R-350, sehingga dengan demikian, produk dan sistem pabrikan ini sudah dikenal di Indonesia. UMS Skeldar, pabrikan UAV dari Swiss, berafiliasi ke Saab setelah sahamnya secara mayoritas dibeli pabrikan sistem pertahanan dan militer dari Swedia itu, beberapa tahun lalu.
Pabrikan Skeldar V-200, UMS Skeldar, menyatakan, UAV helikopter intai maritim dengan kemampuan high endurance RPAS (Remotely Piloted Aerial Systems) ini pesanan Kementerian Pertahanan, yang diakuisisi dalam format kerja sama dan pengembangan industri strategis.
Skeldar V-200 yang dengan dua bilah baling-baling ini ditenagai mesin dua silinder dua langkah (two stroke engine), dengan sistem pembakaran internal likuid, yang mampu membangkitkan tenaga hingga 55 tenaga kuda pada 6.000 rpm, hingga ketinggian 4.500 kilometer. Ini adalah jarak normal peluru-peluru senapan mesin penangkis serangan udara (close-in weapons system) di kapal-kapal perang.
Skeldar V-200, menurut UMS Skeldar, mulai dikembangkan pada 2004. Dalam waktu dua tahun kemudian, lima prototipe sudah dibangun, dan AL Kerajaan Spanyol sempat menjadi tuan rumah pengujiannya. Disebut-sebut, armada kapal perang kelas destroyer Angkatan Laut Amerika Serikat kelas Arleigh Burke —kuda beban Angkatan Laut Amerika Serikat— juga akan dilengkapi dengan Skeldar V-200 namun Indonesia sudah lebih dulu mengoperasikan piranti ini.
Mengintip kemampuan Skeldar S-200, diketahui UAV maritim ini mampu terbang pada radius 150 kilometer (mirip dengan Jakarta-Bandung melalui tol Cipularang) dengan masa terbang hingga enam jam, dan mampu membawa beban hingga 50 kilogram, pada kecepatan 130 kilometer per jam.
Kecepatan ini sudah lebih dari cukup untuk menempel pergerakan kapal atau perahu cepat bermesin jet air sekalipun, sedangkan kecepatan rata-rata kapal transport atau kapal nelayan sekitar 15 knot per jam (sekitar 35 kilometer per jam).
Sesuai dengan “tema pokok”-nya sebagai UAV intai maritim, maka hal yang sangat diperhatikan adalah kemampuan wahana udara tanpa awak ini untuk tahan dari terpaan angin laut, air asin yang bisa menimbulkan karat, hingga hujan di perairan terbuka yang mampu mengacaukan sistem kendali dan sistem sensor. Dia akan terbang dari ketinggian tidak terlalu tinggi sebagaimana halnya dengan UAV kelas berat, di antaranya Hermes III buatan Inggris, atau Heron dari Israel.
Berbagai misi intai dan sejenisnya dapat dilakukan Skeldar V-200, mulai dari reconnaissance, identifikasi, pencarian target, hingga perang elektronika, yang semuanya berbasis sistem kendali-komunikasi Line of Sight, dan penyajian informasi data visual seketika (real time) ke pusat pengendalinya di darat atau kapal patroli dan kapal komando.
Banyak UAV yang bisa terbang secara otonom penuh, namun Skeldar V-200 bisa dikendalikan ke tingkatan komando tingkat tinggi, dengan perintah bidik dan terbang (point and fly), atau bidik dan cari (point and look).
Yang menarik, sensor-sensor penginderaannya sudah mendekati sistem dan skala operasi di pesawat tempur, mulai dari Lidar (Light Detection and Ranging), kamera hiper spektral, sistem signal intelijen elektronika dan intelijen, sistem datalink sehingga bisa menyajikan data seketika ke sistem-sistem komunikasi lain yang kompatibel, dan sistem komando.
Selain itu, kamera pemetaan permukaan Bumi dan kamera optik elektronika dan kamera infra merah bisa juga dipasang di pod-pod-nya. Skeldar V-200 juga bisa dipergunakan untuk misi-misi sipil, di antaranya penanggulangan bencana alam dan kebakaran hutan-lahan.
Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017