Jakarta (ANTARA News) - Sri Hartini (52) bekerja layaknya pegawai negeri sipil di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi DKI Jakarta pada umumnya. Dia bisa membaca surat yang masuk dan menulis tanpa kendala berarti.
Mata sebelah kanan yang kurang berfungsi normal tak menghalanginya menjalankan tugas di bagian surat menyurat. Saat berjalan pun dia sama sekali tak terlihat oleng atau menabrak objek tertentu. Semula, tak ada masalah pada mata kanannya itu. Namun, memasuki kelas tiga Sekolah Dasar, penyakit campak merenggut penglihatannya.
"Kelas 3 SD terkena campak. Gelap. Lama-lama semakin buram, sulit melihat," ujar perempuan yang biasa disapa Tini itu kepada ANTARA News di sela waktu kerjanya di Jakarta, belum lama ini. Rekan kerja Tini yang merupakan Kepala Subdit Penerimaan Pegawai DKI Jakarta, Yanu Hardiyanto menilai Tini selama ini bekerja secara baik, sekalipun mengalami masalah pada mata kanannya.
"Sejauh ini Mbak Tini baik-baik saja bekerjanya. Lihat saja, dia membaca dan menulis surat dengan baik," tutur dia dalam kesempatan berbeda. Tini resmi menjadi PNS 2008 silam. Saat ujian, dia mengaku menjalani tes layaknya peserta lainnya. "Ujiannya sama saja, tidak dibedakan," tutur dia.
Yanu mengatakan, pembedaan dalam ujian CPNS ataupun PNS terletak pada tata cara bagi mereka yang tuna netra. "Ujian tetap sama. Namun, untuk yang tuna netra, (salah seorang guru yang lulus CPNS 2016) dia sudah ikut prajabatan. Kita tidak ada alat untuk braille. Dia dibantu untuk dibacain, A, B,C. Dia memilih itu waktu memilih jabatan," kata dia. Hal ini diakui sang guru, Widia Anjani (bukan nama sebenarnya).
Perempuan yang mengajar di salah satu sekolah luar biasa di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu mengatakan saat ujian CPNS tahun lalu, panitia memperbolehkannya membawa seseorang untuk membacakan soal. "Kalau soal itu, semua dibacain. Tes braille enggak ada.
Sebelumnya koordinasi sama panitia. Harus cari pembaca sendiri. Bedanya kalau dibacakan di depan panitia. Mau menyontek susahnya. Saat ini formasinya guru," tutur dia dalam kesempatan berbeda.
Menyoal fasilitas untuk difabel di berbagai lokasi publik di Jakarta, Widia menilai belum memadai. "Belum memadai," kata dia.
"Untuk lampu merah, seperti di Bandung, Jalan Padjadjaran. Kalau mau menyeberang bisa tekan tombol dan ada bunyinya. Pengendara jalan langsung berhenti. Kalau sudah selesai tombol dimatikan," tutur Widia. Sementara untuk terminal, sambung dia, alangkah baiknya bila terminal di Jakarta bisa mencontoh seperti yang dikawasan Blok M. "Terminal khan crowded, kalau bisa dibuat seperti di Terminal Blok M," sambung Widia.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017