Ia meminta agar pemberian grasi tersebut tidak dihubung-hubungkan dengan istana karena telah melalui mekanisme dan prosedur yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk pertimbangan dari MA.
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Sekretaris Negara (Mensesmeg) Pratikno menunjukkan dokumen pertimbangan Mahkamah Agung yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk memberikan grasi kepada mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
"Saya bawa ini pertimbangannya, saya bawa ini ada macam-macam, ini ada... Jadi dokumen ini saya bawa gara-gara ada pertanyaan terus," kata Mensesneg Pratikno ketika memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu.
Pratikno memberikan keterangan pers untuk menanggapi tudingan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono terkait pemberian grasi terhadap Antasari yang dianggapnya bermuatan politis.
Ia meminta agar pemberian grasi tersebut tidak dihubung-hubungkan dengan istana karena telah melalui mekanisme dan prosedur yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk pertimbangan dari MA.
"Jadi prosedur itu dilalui betul oleh Presiden," kata Pratikno.
Dalam dokumen yang dibawa Pratikno pada kesempatan itu, terdapat sejumlah pertimbangan yang ditandai dengan selotip berwarna di antaranya selotip berwarna kuning di bagian paling atas adalah pertimbangan MA, kemudian selotip warna merah muda pertimbangan dari Jaksa Agung, selotip warna jingga pertimbangan dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam), dan selotip warna hijau muda pertimbangan dari Kementerian Hukum dan hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Pertimbangan MA yang tertanggal 30 September 2016 ditujukan kepada Presiden RI bernomor 21/Panmud Pid/IX/2016/18/MA/2016 dengan lampiran 1 berkas perihal permohonan grasi dari terpidana Antasari Azhar, SH, MH.
MA mengajukan surat dari terpidana Antasari Azhar yang memuat permohonan agar pidana yang dijatuhkan atas dirinya diganti dengan pidana yang lebih ringan.
Pertimbangan MA itu di antaranya memuat bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Negara Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010 Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jak.Sel; jo putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 17 Juni 2010 Nomor 71/Pid/2010/PT.DKI. jo putusan Kasasi Mahkamah Agung RI tanggal 21 September 2010 Nomor 1429 K/Pid/2010. Jo putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 2012 Nomor 117 PK/Pid/2011. Jo Keputusan Presiden RI Tanggal 27 Juli 2015 Nomor 27/G Tahun 2015 pemohon telah dijatuhi pidana penjara selama 18 tahun karena dipersalahkan telah melakukan tindak pidana "turut serta menganjurkan pembunuhan berencana".
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan terpidana dengan pertimbangan di antaranya bahwa pemohon pernah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden RI dan telah mendapat jawaban melalui Keputusan Presiden RI Nomor 27/G Tahun 2015 Tanggal 27 Juli 2015 yang berisi menolak permohonan grasi pemohon.
Selain itu bahwa penolakan permohonan grasi pemohon oleh Presiden RI tersebut didasarkan pada alasan karena pengajuan permohonan grasi aquo tidak memenuhi syarat formal yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU RI Nomor 5 tahun 2010 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi yang menyaratkan bahwa grasi dapat diajukan paling lama dalam tenggang waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan permohonan grasi pemohon diajukan setelah 4 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Tegasnya permohonan grasi pemohon ditolak karena tidak memenuhi persyarakat formal.
Maka dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 15 Juni 2015 yang menyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 7 ayat 2 UU RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang grasi, maka pemohon dapat mengajukan permohonan grasi dengan berbagai pertimbangan.
Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017