Jakarta (ANTARA News) - Sebagai wilayah dengan polusi udara tinggi, Jakarta dan sekitarnya memerlukan setidaknya 100 alat pemantau kualitas udara menurut Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia Dr Budi Haryanto.
"Jakarta kan tidak bisa berbicara tentang Jakarta saja, karena udaranya pasti kemana-mana, jadi berbicara daerah sekitar juga, yaitu Depok, Tangerang dan Bekasi, cukup luas juga. Jadi butuh alat pemantau udara di atas 100 unit," katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa.
Di wilayah DKI Jakarta, ia mengatakan, saat ini baru ada 11 unit alat ukur kualitas udara yang tersebar di sejumlah titik seperti di daerah Gambir dan Bundaran Hotel Indonesia.
Dibandingkan dengan kota-kota besar di negara maju seperti Tokyo dan Los Angeles, menurut dia, jumlah alat pemantau kualitas udara di DKI Jakarta belum memadai.
Ia mencontohkan bahwa Tokyo memiliki 120 alat pemantau kualitas udara dan Los Angeles punya 160 alat pemantau tersebut.
"Jadi jika jumlahnya cukup, maka wilayah yang tinggi polusi udaranya, bisa dihindari dengan manajemen transportasi, dialihkan atau bagaimana, sehingga masyarakat bisa terhindar dari wilayah tinggi polusi," kata Budi.
Budi menjelaskan sumber polusi udara di kota besar di Indonesia kebanyakan berasal dari transportasi dan pembangkit tenaga listrik yang masih mengandalkan bahan bakar fosil.
Polutan udara yang dinilai paling berbahaya adalah PM 2.5, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan serius bahkan hingga kanker paru.
"Untuk alat ukur pencemaran udaranya sendiri, kalau dari segi kesehatan, yang terbaik adalah bisa mendeteksi hingga PM 2.5, bukan hanya PM 10, yang menurut ahli lingkungan sudah cukup," ujar dia.
Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017