Jauh sebelum istilah dokumentasi muncul, peradaban manusia sudah akrab dengan kegiatan mengabadikan (mendokumentasikan) apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan. Misalnya manusia purba membuat tapak tangan pada dinding gua, pujangga menuliskan manuskrip-manuskrip pada lembaran lontar, serta penguasa kuno membuat prasasti dan candi.
Sejatinya proses dokumentasi adalah merekam apa yang belum terekam dan mengelola apa yang sudah terekam baik berupa pemikiran, proses kerja, peristiwa maupun pengetahuan. Objek yang direkam dapat berupa tulisan, suara, citra, objek dua atau tiga dimensi, yang diam maupun bergerak baik yang analog maupun digital. Apabila proses dokumentasi tersebut berjalan baik yang ditandai dengan kehandalan sistem simpan dan temu kembali maka lingkaran penemuan ilmu akan berjalan cepat dan pengetahuan makin berkembang.
Dokumentasi jelas menjadi titik krusial proses pengembangan pengetahuan. Selain itu dokumentasi adalah puncak piramida dari ilmu tentang perpustakaan, arsip dan museum. Sehingga pada tataran akademik dikenal teori tentang kovergensi digital yang diperuntukkan bagi lembaga informasi seperti perpustakaan, arsip dan museum tersebut. Tentu saja konvergensi menjadi lebih mudah dengan hadirnya informasi elektronik sehingga memungkinkan fungsi-fungsi lembaga informasi tersebut berintegrasi.
Apabila konvergensi antar-lembaga dokumenter tersebut sudah lama digaungkan oleh dunia internasional, lantas bagaimana halnya dengan konvergensi lembaga dokumenter di Indonesia? Bagaimana Indonesia merespon hal tersebeut?
Sesungguhnya konvergensi bukanlah hal sederhana hanya untuk menyatukan organisasi-organisasi informasi tersebut, namun titik tolaknya adalah perhatian pada dokumen. Dalam hal ini dokumen adalah berupa bahan pustaka, arsip dan artefak yang membawa informasi dan pengetahuan. Sehingga konvergensi dalam tataran teoritis ini memiliki fokus perhatian pada akses terhadap dokumen tersebut. Untuk menunjang agar hal itu bisa terwujud maka mutlak diperlukan pemahaman yang baik tentang ilmu dokumentasi baru.
Dokumentasi baru tidak hanya terpaku pada benda-benda dua atau tiga dimensi namun juga suara, bahasa tubuh dan pengetahuan terbatinkan (tacit knowledge). Ke depan tren tentang konvergensi lembaga-lembaga dokumenter harus dimulai dengan meletakkan ilmu dokumentasi secara tepat.
Pemicu Diskusi
Buku cetakan pertama yang terbit November 2016 dengan tebal halaman 258+xviii ini dimulai dengan pembahasan tentang berbagai persepsi dokumentasi. Kemudian pembaca diajak menengok sejarah dokumentasi di Eropa dan melihat awal dokumentasi di Indonesia. Pada bab selanjutnya dijabarkan situasi yang mencerminkan keadaan bahwa dokumentasi sempat terlupakan di Amerika dan Indonesia.
Selanjutnya pada bab VI membahas gerakan dokumentalis baru, disusul pembahasan berjudul Focus Pada Dokumen dan dilanjutkan dengan tulisan tentang Konvergensi Lembaga Dokumenter.
Bab kesembilan yang diberi judul Logika Dokumentasi menurut Blasius Sudarsono adalah inti sari dari buku tersebut. Logika dokumentasi adalah salah satu hasil pengembaraan intelektual Blasius Sudarsono selama memimpin lembaga dokumentasi hingga purna tugasnya.
Blasius adalah mantan pimpinan pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI).
Buku ini menggunakan gaya bahasa bertutur yang kerap diawali dengan kata subjek Saya. Hal ini memang disengaja oleh penulis yang juga berkiprah sebagai pemerhati dunia kepustakawanan. Menurut dia pemilihan gaya bahasa bertutur dimaksudkan agar buku tersebut mudah dicerna dan terasa lebih populer. Namun demikian gaya naratif tadi tidak mengurangi sifat ilmiah buku terbitan LIPI press yang memang memegang pakem menyediakan terbitan ilmiah berkualitas.
Salah satu daya tarik buku adalah rangkuman jurnal-jurnal ilmiah tentang dokumentasi yang memanjakan pembaca agar mudah mengambil sari pati pemikiran ilmuan-ilmuan dunia. Hal ini setidaknya tercermin pada kronologi literatur asing tentang dokumentasi pada bab XI.
Buku yang di edit oleh Musiana Yudhawasthi, seorang dokumentalis yang menempuh pendidikan S3 di Universitas Padjadjaran ini memang bukan buku biasa. Karya ini mengalir bergerak pada tataran filosofis bukan pada tataran praktis. Buku ilmiah popular ini mengisi ruang yang mengantarkan kita pada makna kemerdekaan berfikir tentang dokumentasi. Blasius menyebutnya dengan istilah the spirit of documentation.
Keunggulan buku ini adalah munculnya diagram-diagram yang memudahkan pembaca memahami sejarah produk-produk hukum tentang dokumentasi di Indonesia serta beberapa diagram tentang ide pemikiran penulisnya. Salah satunya adalah pemikiran penulis yang terlihat pada diagram nomor 16 berjudul Semesta Dokumentasi (halaman 184).
Dapat dikatakan bahwa karya ini masih berupa sebuah pemantik atau pemicu untuk didiskusikan dan diteliti. Lebih dari itu yang cukup krusial adalah perlunya kolaborasi para ilmuwan untuk menterjemahkan tataran filosofis tersebut menjadi bahan ajar, agar bisa di terapkan dalam kehidupan nyata.
Pesan yang ingin disampaikan oleh pakar yang mendalami ilmu dokumentasi selama lebih dari empat dasawarsa ini adalah agar pembaca mencermati apa yang dimiliki. Selanjutnya mengajak pembaca bergerak mengabadikan dan menyimpannya agar mudah ditemukan kembali sehingga memiliki makna optimal bagi upaya peningkatan ilmu pengetahuan.
Buku ini adalah sebuah pengantar menuju pintu gerbang kemerdekaan berpikir tentang dokumentasi.
*) penulis adalah Manager Pusat Data & Riset Perum LKBN Antara
Oleh Dyah Sulistyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017