Tak ada persiapan psikis yang lebih urgen bagi para kontestan pemilihan gubernur DKI 2017 menyongsong hari pencoblosan 15 Februari selain berbenah diri untuk berlapang dada ketika harus menerima kekalahan.
Menjadi pecundang yang bermartabat, itulah soal esensial yang harus diikhtiarkan oleh siapa pun dari para kontestan yang telah berjuang semaksimal mungkin dalam Pilkada DKI yang menyita banyak perhatian publik di Tanah Air.
Pecundang sebagai antonim dari pemenang selama ini berkonotasi negatif dan tak bermartabat. Apa boleh buat. Itulah makna yang disimpan dalam memori sebagian besar penutur bahasa Indonesia.
Namun sebenarnya kata itu netral. Sebab, siapa pun yang kalah dalam pertandingan atau kompetisi, dalam peristiwa apa pun, masih berpeluang untuk dikenang sebagai pecundang yang bermartabat karena kebesaran jiwanya menerima kekalahan, tanpa menyisakan dendam dan kebencian.
Bagaimana meraih perasaan yang dalam kamus kejiwaan Jawa disebut legowo itu? Fakta bahwa setelah pemilu legislatif banyak pecundang yang dirawat di rumah sakit jiwa merupakan bukti tak mudah untuk bersikap legowo dalam menerima kekalahan.
Mereka yang terlalu berharap menang dan berjudi dengan menjual harta untuk membiayai kampanye dalam pencalonan diri sebagai caleg tentu berbeda dengan mereka yang siap kalah sebelum bertanding.
Dalam kompetisi di ranah politik, sangat berbeda dengan pertandingan olahraga yang kadar spotivitasnya lebih terukur. Bermacam cara baik halal maupun haram dilakukan. Itu sebabnya masih bisa ditemui politisi pecundang yang memprovokasi atau setidaknya membiarkan pendukungnya untuk melakukan keributan saat menerima pengumuman kekalahan.
Undang-undang memang membuka peluang bagi mereka yang dinyatakan sebagai pecundang untuk menggugat hasil pencoblosan dengan alasan terjadi kecurangan. Namun dalam sistem pemilihan yang semakin demokratis dengan semakin canggihnya pengawasan publik yang difasilitasi teknologi digital berbagai bentuk kecurangan dalam pemilihan semakin tereduksi.
Yang membanggakan dan pantas disyukuri oleh semua pihak dalam Pilgub DKI 2017 adalah bahwa semua kontestan berkepentingan pada proses demokrasi yang transparan, jujur dan akuntabel dalam penghitungan suara.
Pasangan calon nomor satu Agus-Sylvi mengumpulkan puluhan ribu ketua rukun tetangga dan rukun warga di masa kampanye antara lain untuk mengajak mereka menjadi pengawas dan saksi pencoblosan agar pemilihan berlangsung jujur.
Pasangan calon nomor dua Ahok-Djarot mengajak kader-kader parpol pendukung mereka untuk mengawasi dan mengamankan jalannya pemilihan dan penghitungan suara agar tak dimanipulasi.
Pasangan calon nomor tiga Anies-Sandi meminta para aktivis pendukungnya untuk mengawal perjalanan angka-angka rekapitulasi dan kotak surat hasil pencoblosan mulai dari tempat pemungutan suara hingga kecamatan agar peluang untuk mengubah angka-angka jadi tertutup rapat-rapat.
Dari kesamaan hasrat semua kandidat gubernur bahwa pencoblosan dan penghitungan suara harus dikawal untuk mencegah kecurangan, Pilgub DKI Jakarta 2017 dipastikan akan berlangsung jujur alias sportif.
Itu sebabnya peluang untuk melakukan penolakan hasil pilgub dengan argumen terjadi kecurangan dalam pemilihan sangatlah kecil. Kecurangan atau lebih tepatnya keteledoran yang sporadis dan terjadi secara terbatas, tidak masif seperti pemilu yang diselenggarakan dalam sistem pemilu diktatorial, dapat dipandang sebagai kesalahan yang bisa ditoleransi.
Berdasar pengalaman, keteledoran sporadis dan terbatas biasanya merugikan semua kontestan di tempat pemungutan suara yang berbeda-beda. Namun secara keseluruhan hasil pemungutan suara bisa dianggap sebagai hasil yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, jika ketedoran itu cukup serius di satu wilayah tertentu dan terdapat bukti-bukti yang jelas, pemilihan di tempat tersebut bisa diulang tanpa harus menganggap semua hasil pencoblosan tidak sah.
Atas dasar kesamaan hasrat untuk menghasilkan pilgub yang jujur itulah, menjadi pecundang yang bermartabat agaknya bukan hal yang teramat sulit bagi siapa pun pasangan calon yang terkalahkan.
Tak susah menandai pecundang yang tak bermartabat. Ketika mereka tak mau menerima kekalahan dan menyatakan menolak hasil pencoblosan, sang pecundang sudah memperlihatkan kekerdilan jiwanya.
Sebaliknya, sang pecundang bermartabat ditandai dengan kesediaannya untuk segera menyatakan selamat pada pemenang begitu hasil pencoblosan sudah diketahui meskipun belum diresmikan atau disahkan oleh komisi pemilihan umum daerah.
Tak berhenti sampai di sana, pecundang bermartabat memperlihatkan kebesaran jiwanya dengan mengajak pengikutnya untuk bersama-sama mengawal, mengontrol jalannya pemerintahan bukannya melanjutkan perseteruan yang menjurus penghalangan atas kebijakan penguasa.
Di mata publik, pecundang bermartabat sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pemenang juga, setidaknya pemenang dalam mengalahkan ego pribadi yang tak mudah ditaklukkan. Satu nasihat jitu yang dicetuskan dua milenium silam berbunyi: jalan untuk menjadi pemenang sejati adalah mengalahkan ego kedirian.
Bagi para pasangan calon pilgub DKI 2017 yang merupakan para figur kelas atas dalam arti finansial maupun sosial, mengatasi ego personal itulah yang terpenting. Dengan kata lain, para kontestan itu adalah figur-figur yang telah selesai dengan diri mereka.
Publik yang menjadi pemilih pun dituntut untuk menjadi warga yang bermartabat dengan memperlihatkan hormat pada calon yang kalah. Sesama pendukung masing-masing kontestan, baik yang menang maupun kalah, perlu memperlihatkan kedewasaan mereka untuk mengakhiri perang kata-kata, apalagi yang menjurus ke penistaan personal.
Demokrasi menuntut kedewasaan bukan saja pada tingkat para elite tapi juga warga pemilihnya.
Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017