Samarinda (ANTARA News) - Pertumbuhan ekonomi domestik yang diperkirakan tumbuh positif kisaran 5,0-5,4 persen pada 2017, masih dibayangi berbagai risiko baik eksternal maupun domestik sehingga kondisi ini masih diperlukan kehati-hatian menentukan kebijakan.
"Untuk risiko eksternal antara lain berasal dari kebijakan Presiden Amerika Donald Trump dan frekuensi kenaikkan suku bunga lanjutan di AS pada 2017," ujar Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Bambang Pramono dihubungi dari Samarinda, Sabtu.
Sebelumnya, saat menjadi nara sumber pelatihan wartawan ekonomi di Bandung pada 9 Februari 2017, ia mengatakan risiko eksternal lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik adalah penyeimbangan ekonomi dan penyehatan sektor keuangan di Tiongkok.
Sedangkan risiko yang muncul dari dalam negeri sendiri atau risiko domestik adalah terkait dengan harga yang diatur pemerintah (admistered prices) sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi energi oleh pemerintah.
Menurutnya, perkembangan perekonomian domstik sangat tergantung dengan pertumbuhan ekonomi global karena Indonesia masih mengandalkan komoditas untuk dikespor ke sejumlah negara di dunia.
Meningkatnya penjualan eceran di Tiongkok mengindikasikan perkembangan konsumsi yang juga sejalan dengan membaiknya indikator tenaga kerja.
Begitu pula dengan mebaiknya investasi di Tiongkok dari pihak swasta juga didorong oleh keterlibatan swasta pada private publik partnership, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian global.
Ia mengatakan, perkiraan membaiknya ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh harga minyak tahun 2017 diperkirakan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Perkiraan peningkatan ini didorong oleh realisasi harga minyak pada Desember 2016.
"Harga minyak dunia didorong oleh implementasi kesepakatan OPEC dan 10 negara non-OPEC untuk melakukan pemotongan produksi. Akibat dari produksi yang dibatasi, imbasnya kemudian harganya menjadi naik," katanya.
Harga minyak naik sebesar 12 persen pasca kesepakatan OPEC dan 10 negara non-OPEC, yakni untuk memangkas produksi 1,8 mbpd, atau 2 persen dari totol persediaan yang berlaku mulai Januari hingga Juni 2017.
Bambang juga mengatakan harga komoditas ekspor Indonesia juga mengalami peningkatan, karena ditopang oleh kenaikan harga batu bara dan beberapa jenis logam.
Meningkatnya harga batu bara didorong oleh kenaikan impor dari Tiongkok, seiring dengan kebutuhan inventori untuk mengantisipasi musim dingin, sehingga hal ini juga mendorong naiknya ekspor dari Indonesia ke Tiongkok.
(KR-GFR/M019)
Pewarta: M Ghofar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017