Menurut Engelbert Jojo Rohidalam diskusi publik Pilkada Jakarta 2017 di Jakarta, Kamis, hal itu terjadi karena masyarakat Jakarta memiliki pendidikan yang cukup baik dan memiliki akses terhadap informasi, terutama melalui internet.
"Di Jakarta ( kampanye hitam) saya kira tidak efektif, well educated (lebih berpendidikan), terlalu banyak mata dan telinga, Jakarta relatif bisa mengakses internet, betapa dari bangun tidur hingga tidur di bombardir informasi," katanya.
Ia menambahkan, kampanye hitam hanya efektif bagi masyarakat yang kurang berpendidikan dan sulit mengakses informasi, sehingga tidak ada informasi pembanding. Untuk itu, biasanya kampanye hitam akan efektif di daerah-daerah pinggiran atau pedalaman.
Ia mengatakan, "kampanye hitam" yang berlebihan di era banjir informasi melalui internet saat ini justru membuat jengah masyarakat.
"Masyarakat bosan dan enek(mual) dengan informasi kampanye hitam dan hoax. Akibatnya saya kira justru bisa jadi kontra produktif, hanya lewat," katanya.
Menurut dia, kampanye hitam yang menyerang pribadi para kandidat memang sulit dihindari di negara-negara demokratis, bahkan di Amerika Serikat.
Sementara itu, menurut peneliti dari Lembaga Survei Vox Populi Shadikin Suhidin, sumber daya manusia (SDM) dari pemilih juga menentukan efektifitas dari kampanye hitam. Semakin SDM berkualitas maka kampanye hitam dirasa semakin tidak efektif.
Shadikin Suhidin mengatakan, dalam survei yang dilakukannya selama ini, masyarakat yang memilih karena terpengaruh kampanye hitam tidak lebih lima persen. Namun demikian, menurut dia, hal itu bisa saja punya pengaruh lebih besar.
"Tergantung kemasan dan momennya," katanya.
Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017