"Indonesia sedang menghadapi tantangan praktik-praktik intoleransi yang salah satunya banyak informasi hoax dan ujaran kebencian di media sosial yang berpotensi memecah belah bangsa kita," kata Teten saat ditemui di Museum Nasional, Jakarta, Kamis.
Menurut Teten, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami fenomena ini, karena praktik hoax ini sudah menjadi masalah global.
Oleh sebab itu, kata Teten, pemerintah sedang berusaha mengatur alur informasi di media sosial agar tidak ada informasi palsu dan fitnah yang dapat menimbulkan ketegangan di masyarakat.
Dia mengatakan ada beberapa langkah yang akan dilakukan pemerintah Indonesia untuk memerangi berita palsu tersebut, yakni kerja sama dengan perusahaan platform seperti Google, Facebook, Twitter atau Youtube untuk menghentikan iklan untuk portal-portal yang menebar fitnah. (Baca: Google terbuka untuk kerja sama tangkal hoax)
"Mereka juga harus mau menarik informasi fitnah yang disebarkan oleh akun yang menyebar informasi bohong, jika tidak dilakukan pemerintah akan mendenda mereka, tentunya dengan denda yang cukup besar," kata Teten.
Selain itu, melakukan literasi kepada anak-anak muda tentang bagaimana menggunakan media sosial yang baik perlu ditingkatkan.
"Literasi kepada anak-anak muda itu adalah salah satu cara untuk memerangi hoax, media sosial memang penting, tetapi kalau isinya adalah kebohongan kan tidak berguna," kata dia.
Dia mengatakan pengaturan informasi di media sosial itu jangan diartikan sebagai kemunduran demokrasi, sebaliknya hal ini adalah upaya pemerintah untuk menjaga demokrasi di Indonesia tetap berkualitas.
"Saat ini ujaran kebencian diartikan sebagai kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang, padahal itu adalah ujaran yang kebablasan dan dapat merusak demokrasi," kata Teten.
(baca juga: Tips mencari sumber info bebas hoax)
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017