Sungai Barito seperti nadi, alirannya menyebar hingga ke sub-sub sungai terkecil di pedalaman Kalimantan Tengah hingga ke hilir Kalimantan Selatan.
Layaknya pembuluh kapiler di dalam tubuh, aliran terkecilnya juga memungkinkan pertukaran nutrisi bagi lahan-lahan basah yang dilalui.
Saat menyusuri Barito menuju Desa Kalanis di Kecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, di akhir Januari 2017, memang tampak masih ada vegetasi tumbuh dengan mayoritas ketinggian tajuk di bawah 8-10 meter di pesisir sungai yang bergantian dengan rumah-rumah panggung maupun apung milik warga.
Namun tampaknya tutupan tersebut sudah tidak begitu mampu menahan luapan air Barito saat musim hujan.
Tidak heran, jika Kepala Desa Kalanis yang namanya kebetulan sama dengan almarhum sejarawan kelahiran Banda Naira Des Alwi mengeluhkan soal banjir yang semakin sering menghampiri desanya saat musim hujan tiba.
Sebelum ada Adaro (hauling road PT Adaro Indonesia), di belakang desa sini hutan semua. "Karena hutan lebat, tanah jadi lembab, tangkap ikan masih mudah bisa dapat setengah piku (50 kilogram) dengan alat sederhana dalam sehari," kata Des Alwi.
Namun saat kemarau, vegetasi paku-pakuan di lahan gambut yang menghampar di kecamatan ini justru menjadi bahan bakar yang ketika sedikit saja tersulut oleh api akan sangat cepat terbakar. Alhasil, desa ini acap kali diselimuti oleh asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Kalau kita lihat kemarin, semua ditutupi jenis paku-pakuan yang sangat padat. Bagian bawahnya kalau diperhatikan kering, padahal masih musim hujan dan dibawah paku-pakuan masih ada air, bisa dibayangkan bagaimana kalau kemarau," kata Deputi Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan Badan Rehabilitasi Gambut (BRG) Alue Dohong di Banjarmasin, Selasa (31/2).
Deputi yang banyak bersentuhan dengan isu REDD memang benar, karena sehari sebelumnya Kepala BRG Nazir Foead dan timnya menerabas masuk ke area gambut berkedalaman sekitar dua meter dalam konsesi PT Hutan Amanah Lestari (HAL) di Desa Jurubanu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, untuk mengetahui potensi budidaya di sana memang tampak bagian bawah tumbuhan paku-pakuan yang justru berdekatan dengan muka air di lahan gambut tersebut kering meski bagian pucuknya terlihat hijau.
Alue menyebut tumbuhan ini masuk kategorikan penghambat untuk restorasi vegetasi karena tumbuh sangat padat di lahan gambut. Kalau ada bibit kayu-kayuan ditanam di sana pasti akan tertutup oleh paku-pakuan sehingga penetrasi matahari pun sulit dan akhirnya bibit tumbuhan tersebut bisa mati.
Kehadiran "hauling road" sepanjang 80 km yang menjadi akses logistik batu bara PT Adaro Indonesia dan PT Semesta Centramas dari tambang mereka di Kalimantan Selatan hingga ke pelabuhan batubara di Kalanis, Kalimantan Tengah, yang membelah hutan dan lahan gambut di sana menurut sejumlah warga Desa Kalanis dan Jurubanu memang membawa perubahan.
Entah berapa "pembuluh kapiler" pembawa nutrisi yang terputus di sana, namun yang jelas di bagian terdekat dengan jalan tersebut hanya sedikit sekali pohon yang hidup.
Lokasi gambut di sekitar "hauling road" tersebut, menurut pakar fisiologi tanaman dan ilmu tanah Universitas Hokkaido Prof Mitsuru Osaki yang kebetulan juga ikut turun ke lokasi, pernah terbakar di 1997. Pascakebakaran berulang kali kondisinya menjadi rapuh, sangat terdegradasi sehingga mudah tersulut api dan menjadi sulit dipulihkan.
"Jadi memungkinkan, tapi akan sulit mengembangkan sagu di sana. Ketinggian muka airnya bisa untuk sagu tapi produktivitasnya tidak akan tinggi," kata Osaki.
Karena itu ia menyarankan penanaman sagu dilakukan di dekat area yang masih ada tumbuh tegakan, sedangkan area terbuka bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan.
Tidak hanya Des Alwi, Syahmad (29) yang kini bersama tiga rekan lainnya mendapat tugas menjadi tim patroli hutan dan serbu api mengatakan hutan di daerah sana semakin gundul, pembalakan liar sering terjadi dan lahan menjadi mudah terbakar.
Namun tidak bisa dipungkiri, pada saat bersamaan kehadiran perusahaan membuka lapangan kerja bagi sebagian warga desa.
Opsi masyarakat
Tidak ingin pribahasa "bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati" terjadi atas kehadiran hauling road tersebut, kini warga di kedua desa di Kecamatan Dusun Hilir ini mulai terlibat dalam program konservasi dan rehabilitasi lahan rawa gambut yang dilakukan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMP) di lahan gambut terdegradasi seluas 25.804 hektare (ha) milik konsesi Hutan Amanah Lestari.
"Harapannya, karena ada dukungan dari bapak dan ibu, bisa dicari tanaman yang cocok untuk ditanam supaya hutan tidak lagi gundul," kata si Kepala Desa di hadapan Kepala BRG dan timnya saat berdialog dengan warga dari sejumlah desa di Desa Kalanis.
Bahkan tampaknya,m ia bersama warganya sudah sepakat ingin menanam sagu yang lebih tahan terhadap genangan, dengan alasan sagu bisa dikembangkan untuk pakan bebek, sedangkan daunnya bisa dijadikan atap rumah.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Kalanis Arbani juga bersuara sama, berharap pengelolaan lahan gambut dengan menanam sagu di desanya maupun Desa Jurubanu bisa terlaksana mengingat perpindahan musim kemarau dan hujan terjadi enam bulan sekali, yang artinya desa akan tergenang cukup lama.
Menurut Arbani, 60 persen warga di Jurubanu maupun Kalanis berprofesi sebagai nelayan menangkap ikan di rawa gambut, dan dengan periode banjir yang semakin panjang justru membuat tangkapan ikan menjadi semakin sulit.
Ia mengatakan akan juga sangat baik jika memang benar ada alternatif usaha lain dengan mengembangkan kerbau rawa yang selama ini hanya dijual dagingnya bisa juga dimanfaatkan susunya untuk dikembangkan menjadi keju mozzarella seperti yang sudah disosialisasikan tim dari UMP dan PT HAL atas ide dari tim The United Nations Office for Project Services (UNOPS).
Sementara itu, Bahrudin (42), warga Desa Kalanis lainnya yang masuk dalam Kelompok Tani Peternak Kerbau Rawa mengatakan jaminan kesehatan ternak kerbau rawa jadi hal utama yang diharapkan para peternak, selain juga ketersediaan pakan. Periode banjir yang semakin panjang di desanya membuat pasokan pakan untuk 21 kerbau rawa yang menjadi ternaknya dan kerbau-kerbau rawa lain milik warga desa lainnya semakin sulit.
Tidak hanya para bapak yang dilibatkan dalam program konservasi dan rehabilitasi lahan gambut ini, peran ibu termasuk penting untuk suksesnya restorasi. Rosina sebagai Ketua Kelompok Tani Tanaman Hidroponik Desa Kalanis mengatakan telah memperoleh teori pengembangan tanaman hidroponik dan kini tinggal mempraktikkannya.
Beberapa ibu desa, menurut Rosina, ikut menanam padi dengan teknik tanpa bakar dan biasanya dilakukan menunggu lahan gambut surut. Tapi sudah dua kali masa tanam terakhir mereka gagal panen gara-gara banjir.
Kerja bareng
Area hutan konsesi PT HAL yang memegang izin restorasi ekosistem berupa Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan Penyimpanan Karbon (IUP RAP-KARBON dan/atau IUP PAN-KARBON) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2011 ini kebetulan berada dalam salah satu wilayah prioritas restorasi gambut berdasarkan peta prioritas BRG.
Konsep restorasi yang dikerjakan di sini tidak menggunakan dana APBN, tetapi dilakukan pihak swasta yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan sebagian mendapat sokongan dana dari pihak donor melalui Lembaga Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (Indonesia Climate Change Trust Fund/ICCTF).
UMP dan PT HAL mengalahkan 308 proposal riset guna memperoleh hibah dana riset Rp2.419.987.000 untuk menjalankan program konservasi dan rehabilitasi rawa gambut di konsesi perusahaan tersebut sebagai "working classroom" untuk jangka waktu April 2016-Maret 2018.
Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Siti Maimunah mengatakan telah melakukan studi kelayakan di awal 2016, dan program ini nantinya mampu mencapai penyerapan hingga 80.126.059 ton CO2e selama 30 tahun dengan rata-rata 2,6 juta ton per tahun.
Maka dalam kurun waktu 24 bulan, UMP akan melibatkan banyak pihak termasuk 25 Kepala Keluarga (KK) di Desa Kalanis dan 46 KK dari 5 Rukun Tetangga (RT) di Keluarahan Rantau Kujang untuk peningkatan ekonomi melalui Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Sudah terbentuk kelompok tani pembudidaya ikan, lebah madu, hidroponik, kerbau rawa, budidaya sagu serta terbentuk tim patroli hutan dan serbu api.
Sementara itu, pihak PT HAL akan berupaya menghijaukan kembali lahan yang terdegradasi tersebut, salah satu cara yang akan dilakukan menabur bola benih tanaman tumih, geronggong, sengon, pulai, bungur dan galam yang dijatuhkan melalui udara di sebagian lahan konsesi dengan helikopter. Cara lain tentu mengintervensinya melalui darat, termasuk memasang sistem pencegahan kebakaran sekaligus sistem pengendalian hidrologi untuk pembasahan (rewetting) gambut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla di hadapan wakil pemerintahan setingkat menteri dari Jerman, Belanda, Norwegia, Inggris, Kepala UNEP dan para investor di sela-sela acara Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 2016, menurut Nazir, telah menyampaikan peluang investasi mengurangi karbon dengan merestorasi lahan gambut yang terdegradasi. Bisa ditangkap dari pertemuan itu bahwa minat investor cukup besar, dan negara donor mempersilakan memakai dana hibah yang sudah diberikannya untuk menarik minat investor menjalankan skema restorasi gambut ini.
Dalam Forum Ekonomi Dunia 2017 di Davos, lanjutnya, Perdana Menteri Norwegia meluncurkan skema dana hibah yang harus bersanding dengan investasi untuk restorasi ini dan sudah menyiapkan dana hibah lainnya sebesar 125 juta dolar AS bersama negara mitra, dan targetnya bisa terkumpul dana hibah sebesar 400 juta dolar AS, lanjut Nazir.
BRG memetakan bahwa dari lahan gambut bekas terbakar di 2015, seluas 2,679 juta ha dengan perbandingan 2,3 juta ha kawasan budidaya dan 339.000 ha kawasan lindung harus direstorasi dalam lima tahun sejak 2016. Dari area 2,3 juta ha tersebut sekitar 1,2 juta ha merupakan konsesi perkebunan dan kehutanan yang restorasinya harus ditanggung perusahaan, sedangkan kawasan lindung dan "tidak bertuan" menjadi tanggungjawab pemerintah dengan dana dari APBN, APBD ataupun donatur dan organsiasi masyarakat sipil.
Nazir di hadapan warga desa menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo ingin mengembalikan fungsi lahan gambut untuk kehidupan bersama. Lahan gambut yang sering terbakar ingin dikembalikan lagi fungsi lindung maupun budidaya, dengan harapan tidak ada lagi yang terlantar, tetapi justru dapat lebih bermanfaat.
Pewarta: Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017