Jakarta (ANTARA News) - KPK menetapkan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, DW, sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016.
"Berdasarkan pengembangan penyelidikan, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi suap terkait proses penerbitan paspor RI dengan metode reach out tahun 2016 dan proses penerbitan calling visa tahun 2013-2016," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
KPK menetapkan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia, Dwi Widodo sebagai tersangka kasus tersebut.
"DW selaku penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang menjabat atase imigrasi pada Kedubes RI di Kuala Lumpur yang diduga menerima suap Rp1 miliar dalam penerbitan paspor dengan metode reach out dan penerbitan calling visa," tambah Febri.
Dwi disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
"Modus yang dilakukan tersangka adalah meminta pihak agen perusahaan atau makelar untuk memberikan sejumlah uang atas pembuatan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia yang hilang atau rusak yang diterbitkan melalui metode reach out dan melakukan pungutan yang melebihi tarif resmi terkait penerbitan calling visa," ungkap Febri.
Dwi juga diduga meminta kepada pihak agen yang menjadi kuasa atau penjamin warga negara asing (WNA) untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya.
Menurut Febri, pungutan liar (pungli) berupa pembuatan paspor yang hilang atau rusak bagi WNI di Malaysia itu memiliki dua cara yaitu pertama melalui mekanisme biasa dimana pemohon paspor datang langsung ke KBRI pada hari dan jam kerja, atau kedua melalui mekanisme "reach out" yaitu pihak imigrasi KBRI yang mendatangi pemohon di lokasi yang berada di luar KBRI. "Reach Out" ini dilakukan di luar hari dan jam kerja.
"Terkait permohonan penerbitan calling visa yang membuat persetujuan bagi WNA untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia. Dalam penerbitan visa ada beberapa negara yang termasuk kategori rawan antara lain Afghanistan, Nigeria, Niger, Kamerun, Pakistan dan Somalia sehingga WNA dari negara-negara tersebut harus mengajukan calling visa untuk bisa masuk ke Indonesia," jelas Febri.
Perkara ini bermula dari inspeksi pelayanan publik yang dilakukan lembaga antikorupsi Malaysia (MACC) di Kuala Lumpur terkait layanan pembuatan paspor dengan cara "reach out" dan "calling visa". Selanjutnya KPK menjalin kerja sama dengan MACC terkait perkara ini sejak 2016 sesuai kewenangan masing-masing.
MACC menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi suap, termasuk beberapa negara Indonesia sedangkan ketua KPK menyidik Dwi selaku PPNS yang menjabat sebagai atase imigrasi.
Penyidik KPK pun sudah menggeledah kediaman Dwi di daerah Depok dan menyita sejumlah dokumen.
"KPK memiliki perhatian khusus dalam kasus ini mengingat salah satu pihak yang dirugikan adalah TKI padahal TKI memberikan sumbangan uang ke negara dari remitansi lebih dari Rp80 triliun per tahun tapi terbebani dengan biaya dan pungli yang liar. Calo pembuat paspor reach out mendekati kantong-kantong TKI untuk membantu pembuatan paspor dengan biaya lebih tinggi dan kelebihannya dinikmati oknum pejabat," jelas Febri.
Terkait penetapan tersangka PPNS di Imigrasi tersebut, Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Agung Sampurno menyatakan sudah menonaktifkan Dwi.
"Sejak awal Ditjen Imigrasi secara aktif membantu proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK dengan cara menonaktifkan DW, menarik ke Jakarta yang bersangkutan dan memasukkan ke dalam daftar cegah sesuai permintaan KPK," kata Agung.
Biaya yang dikenakan kepada WNI di luar negeri yang mengajukan paspor dengan sistem "reach out", menurut Agung, adalah sebesar Rp355 ribu, namun di luar negeri dikonversi ke kurs setempat.
"Untuk mengantisipasi penggelembungan harga tersebut saat ini sistem penerbitan paspor dan visa di luar negeri telah terkoneksi dengan sistem informasi berbasis elektronik milik Ditjen Imigrasi di 30 perwakilan RI di luar negeri yang mampu memantau secara online dan realtime tentang penerbitan paspor dan visa. Sedangkan proses pembayaran dilakukan melalui transfer bank di beberapa perwakilan untuk menghindari kontak langsung dengan petugas," ungkap Agung.
(D017/N005)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017