Oleh Dewanti Lestari Jakarta (ANTARA News) - Ketika pakar botani Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis, kelahiran Belanda tahun 1901, ditugaskan di Buitenzorg (Bogor) pada 1927 untuk bekerja di Kebun Raya Bogor dan Herbarium Bogoriense, ia langsung terkagum-kagum pada keindahan dan keanekaragaman hayati negeri jajahan itu. Namun sebagai ilmuwan botani, sejak awal ia tidak ingin memperburuk citra negerinya yang mungil itu di masa depan dengan menjadi kolonialis sejati. Itulah sebabnya, dia lebih memilih mengumpulkan aneka tumbuhan hingga mencapai 24 ribu nomor koleksiherbarium yang berguna bagi "inlander" yang ditinggalkannya. Peninggalannya yang juga tak akan sia-sia adalah bukunya berjudul "the Mountain Flora of Java", buku tentang keanekaragaman tumbuhan di pegunungan Jawa yang diterbitkan di Leiden 1972, menjelang pensiun dari jabatan Direktur Sistematik Tumbuhan di Universitas Leiden. Buku besar, tebal, dan berat itu baru diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Flora Pegunungan Jawa" baru-baru ini oleh Jenny A. Kartawinata, istri dari pakar ekologi dan taksonomi tumbuhan LIPI, Kuswata Kartawinata PhD. Buku itu bagi Profesor van Steenis, seperti dalam pengantarnya, tidak ditujukan untuk sekadar menjadi panduan botani bagi para penggemar alam ketika mereka berpetualang menjelajahi gunung-gunung dan hutan-hutan di Pulau Jawa. Tapi, hal yang lebih penting adalah memacu penelitian lebih lanjut tentang flora Jawa di kawasan tropik seluas lebih dari 130 ribu Km2 yang luasnya lebih dari tiga kali negeri kelahirannya. Selanjutnya, untuk menyadarkan masyarakat Jawa akan kekayaan floranya serta merangsang kesadaran mereka untuk melestarikan warisan tersebut dengan melindungi vegetasi alaminya, memastikan pasokan airnya, mencegahnya dari erosi, dan pemusnahan hutan di lerengnya. Tak kurang dari sketsa sejarah, pegunungan Jawa, iklim, zonasi elevasi, biologi bunga, formasi tumbuhan, perbedaan antara Jawa bagian barat dan timur, tumbuhan pegunungan yang langka, persebaran, komposisi, turunan dan asal-muasal flora pegunungan Jawa hingga konservasinya menjadi isi dari bab-bab dalam bukunya. Dibawakan dengan gaya bertutur dan mudah diikuti, buku tersebut lebih banyak mengungkapkan pikiran dan pengamatan penulisnya yang memang pakar dalam tumbuhan biji dan paku-pakuan di kawasan Malesia (suatu kawasan yang ia definisikan menurut pola persebaran tumbuhan di Malaysia, Indonesia, Filipina, hingga Papua Nugini). Tentu saja, seperti diakui pakar-pakar ekologi LIPI, antara lain Kuswata Kartawinata PhD, Prof Elizabeth Widjaja PhD, dan Prof Tukirin yang menjadi konsultan dalam sisi ilmiah buku ini, tulisan yang terbit 35 tahun lalu itu tak terlalu memadai jika dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan ilmu botani saat ini. "Namun buku ini sangat berharga, mengingat keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat tinggi tidak sebanding dengan terlalu sedikitnya buku-buku ilmiah yang berbicara tentang kekayaan tumbuhan di kawasan-kawasan Indonesia," kata Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Dr Dedy Darnaedi. Yang paling menarik perhatian dari buku ini, katanya, adalah penyajian 459 gambar berwarna dengan skala 1:1 secara akurat, disertai penjelasan nama latin tumbuhan itu, deskripsinya, lokasi penemuan, persebarannya, kondisi elevasi (ketinggian) habitat, dan keterangan lainnya. Van Steenis dalam bukunya menyebut, adalah tidak mungkin memasukkan semua spesies pegunungan Jawa yang terdiri dari sedikitnya 6.000 spesies tumbuhan berbunga dalam lampiran buku itu. Dari 6.000 spesies di pegunungan Jawa yang ditemukannya, 1.480 di antaranya hanya tumbuh dalam keadaan dibudidayakan. Sedangkan dari 4.520 spesies sisanya, kurang lebih 4.100 spesies adalah asli Jawadan 400 spesies lainnya adalah tumbuhan asing yang telah bernaturalisasi. Sebanyak 2.300 spesies dari spesies asli Jawa itu ditemukan pada elevasi di atas 1.000 meter bahkan 1.500 spesies ditemukan sampai di atas elevasi 1.400 meter. "Sebagian besar dari spesies yang ditampilkan di buku itu tumbuh dengan kaya di ketinggian di atas 1.400 meter di mana sekitar 400 spesies adalah dari suku anggrek. Anggrek lebih dipilih juga karenamencolok dan menarik perhatian," tulis sang profesor yang wafat pada 1986 itu. Kenyataannya, lukisan 459 spesies flora dengan cat air itu sangat menawan dan membuat buku itu seolah menjadi terlalu murah, meski dijual ke umum dengan harga sekitar Rp200 ribu. Pastilah kedua putera Bogor, Amir Hamzah dan Moehamad Toha, yang menjadi pelukis botani di Herbarium Bogoriense saat van Steenis bertugas di sana, sangat berbakat dan membuat penikmat lukisan naturalisme di dunia terkagum-kagum pada mereka. Penerjemahnya, Jenny Kartawinata yang mantan Redaktur Pelaksana majalah Femina, tentu lebih dulu terpikat pada gambar-gambar ini sebelum mulai menerjemahkannya lembar demi lembar buku itu. Gambar-gambar itu juga yang tampaknya telah mendorong alumni jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan Bandung itu berkeras membuatnya bisa terbit di Indonesia, sebuah perjuangan sangat panjangdan sulit. Kesulitan Jenny dalam menerbitkan buku terjemahan itu karena keterbatasan dana seolah mengikuti sulitnya penerbitan buku itu oleh penulis aslinya, Profesor van Steenis. Dalam bukunya van Steenis mengungkapkan ingin menerbitkan buku ilmiah itu sejak 1945 ketika dia masih bertugas di Buitenzorg, namun upaya itu terus gagal dan baru pada 1972 bisa diterbitkan denganbantuan banyak pihak. Jika dia masih hidup, maka boleh jadi dia bermimpi bukunya itu dilanjutkan dengan berbagai eksplorasi lainnya, tentang flora pegunungan Sumatera hingga Papua, flora di dataran rendah, di perairan darat, flora lautan, jenis-jenis tanaman biji, tanaman obat-obatan, spesies pangan, padi, hingga sekadar soal lumut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007