Jombang (ANTARA News) - Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mendirikan pusat kajian pemikiran pendiri organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari, sebagai upaya melestarikan dan terus mengembangkan pemikirannya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Shalahudin Wahid mengemukakan rencana pendirian pusat kajian itu sudah cukup lama. Pendirian itu berawal dari sekitar 20 tahun lalu, terdapat tokoh NU yang menilai pemikiran KH Hasyim Asyari telah kedaluarsa serta dianggap terlalu sederhana.
"Waktu itu saya menjawab, Mbah Hasyim membuat rumusan Ahlussunnah wal Jamaah untuk konsumsi masyarakat. Jadi dibuat sangat sederhana, supaya mudah dipahami. Dan, Alhamdulillah, itu mudah dipahami," katanya saat meresmikan pendirian pusat kajian tersebut, di lingkungan pondok, Minggu.
Gus Sholah, sapaan akrabnya mengungkapkan, fakta bahwa pemikiran Mbah Hasyim mudah diterima dibuktikan dengan jumlah anggota NU yang sangat besar.
"Jadi, dari segi ilmu komunikasi, rumusan yang sederhana itu justru suatu keunggulan," tegas kiai yang juga menjabat Rektor Unhasy Tebuireng itu.
Gus Sholah menambahkan, jasa Mbah Hasyim juga besar, terkait dengan proses memadukan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Baik pada proses penyusunan rumusan dasar negara, pembentukan kementerian agama, hingga sinkronisasi pendidikan nasional dan pendidikan Islam. Pemikirannya juga diteruskan oleh putranya, KH Abdul Wahid Hasyim.
"Pak Wahid Hasyim yang berperan dalam proses-proses itu, mewakili pemikiran Mbah Hasyim," ungkapnya.
Gus Sholah menambahkan, NU juga sebagai organisasi masyarakat Islam pertama yang menerima Pancasila secara resmi pada 1984, juga bagian dari sentuhan dan jasa Mbah Hasyim. Sikap NU itu didasarkan pada dokumen tentang hubungan Islam dan Pancasila yang ditulis oleh KH Ahmad Siddiq, yang merupakan salah satu murid Mbah Hasyim.
Lebih lanjut, Gus Sholah menuturkan bahwa proses akomodasi substansi syariah Islam ke dalam sejumlah UU, yang dipelopori oleh KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Chasbullah, juga tidak bisa dilepaskan dari peran Mbah Hasyim. Sebab, keduanya juga murid beliau. UU itu misalnya UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama.
"Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa yang memadukan Islam dan Indonesia adalah Mbah Hasyim. Seandainya Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah bukan murid Mbah Hasyim, mungkin akan lain ceritanya," ungkapnya.
Pihaknya menilai, konsep perpaduan Islam dan Indonesia saat ini sedang ada yang mencoba merenggangkannya. Untuk itu, adanya pusat kajian dinilai program yang positif demi persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau sampai upaya untuk melonggarkan sendi-sendi itu terjadi, saya khawatir bangsa kita akan mengalami lagi turbulensi," ungkapnya.
Dalam acara peresmian pusat kajian itu selain dihadiri Gus Sholah, juga sejumlah tokoh, misalnya mantan Menteri Agama KH Tolchah Hasan, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta Masykuri Abdillah. Selain itu, juga terdapat wakil Rektor Unhasy Haris Supratno serta wakil pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz.
Selain peresmian pusat kajian pemikiran KH Hasyim Asyari, kegiatan tersebut juga diisi dengan penyampaian "Pesan Kebangsaan Pesantren Tebuireng".
Pewarta: Destyan HS
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017